Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2018

Sejenak

www.tribunnews.com Kutulis surat ini untukmu. Aku tahu kamu telah pamit padaku. Hmm...perpisahan yang membuatku mati,  karena tak mampu lagi merangkai kata dari jemari-jemariku. Apakah kamu tahu jika ini tak mudah? Tersuruk di sudut, menatapmu melangkah pergi dan tak tahu kapan kembali. Mau kuapakan roller coaster yang kamu titipkan padaku? Aku tak tahu menahu tentang roller coaster. Bagaimana aku bisa mengoperasikan hingga menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi penumpangnya? Tetapi akhirnya aku menyerah. Aku juga tak tahan jika hanya melihat roller coater itu membisu. Pasti jika aku biarkan dia tetap membisu, roller coaster itu akan menjadi berkarat dan akhirnya tidak bisa dimainkan. Padahal sebelumnya roller coater ini selalu ramai. Para penumpang selalu ketagihan setelah menaikinya. Mereka akan mengantri, mengantri, mengantri lagi untuk bisa menaiki roller coaster yang kamu jaga ini. Maka setelah kepergianmu, kucari seseorang, eh lebih tepatnya beberapa orang unt

Kotaku, Batam

Duapuluhtahun yang lalu, aku mendarat di kota ini setelah menghabiskan waktu diudara bersama burung besi bernama Garuda. Kota yang saat itu menjadi tujuan utama untuk meraih mimpi. Batam. Kota terbesar yang pada tahun 1998 masih menjadi ibukota Provinsi Riau sebelum memisahkan diri menjadi Kepulauan Riau. Batam memang kota industri yang strategis karena lokasinya yang sangat dekat dengan Singapura dan Malasya. Hanya memerlukan waktu 45 menit waktu yang di tempuh dengan menggunakan kapal ferry. Awal pertama di kota ini, hutan lebat masih menaungi sepanjang jalan. Hanya beberapa perumahan tertentu yang pasti sudah dihafal luar kepala lokasinya oleh penduduk di sana ketika itu. Mall hanya terdapat di pusat kota, Jodoh, Nagoya.  Namun kini, kota ini sudah jauh berkembang sangat pesat. Pembangunan secara besar-besaran sedang digalakkan. Hutan-hutan sudah berubah menjadi kawasan perumahan. Kemacetan terutama yang menuju arah kota sama halnya dengan kemacetan di ibukota.

Belajar

Pabrik tempatku bekerja adalah tempat kedua yang banyak menyita waktu dari 24 jam yang kupunya. Perbedaanya adalah, di pabrik aku nggak boleh leyeh-leyeh. Sedang di rumah, aku bisa tidur kapan saja sesukaku. Namun, dari dua tempat itulah aku belajar. Di rumah, belajar menjadi ibu, menjadi istri, memahami anak-anak dengan segala keunikan mereka. Salah satu hal mendasar yang aku dapatkan untuk bekal menjadi itu semua adalah sabar. Semua teori tentang menjadi ibu dan istri yang baik bisa kubaca, kuhafalkan mungkin sampai hafal di luar kepala. Namun pada kenyataanya, ketika dihadapkan pada ujian praktik, semuanya tidak semudah teori yang telah kupelajari sebelumnya. Sedang di pabrik, menjadi seorang bawahan yang harus tunduk segala peraturan yang telah ditetapkan perusahaan dan juga mungkin atasan. Di sini, aku bertemu dengan berbagai orang dari semua suku bangsa, memahami sifat dasar dan adat istiadat mereka. Ada yang berperilaku baik dan benar-benar tulus, ada juga yang berperila

Warisan Sejarah : Candi Morangan

www.tribunnews.com Jika kalian berkunjung ke Yogykarta, pasti akan banyak kalian temui tempat-tempat wisata yang salah salah satunya sangat terkenal adalah Candi Prambanan. Candi yang terletak di perbatasan Yogya-Klaten ini menjulang tinggi sangat indah yang lokasinya amat sangat mudah di jangkau oleh wisatawan. Namun, jika kamu ke utara sekitar 10 km, kamu juga akan temui satu Candi yang mungkin tidak begitu terkenal namanya, Candi Morangan. Candi Morangan adalah candi Hindu yang berada di dusun Morangan, kelurahan Sindumartani, kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, dan berada sangat dekat dengan Kali Gendol (100meter sebelah barat) dan paling utara mendekati Gunung Merapi. Dan itu juga berada persis di sebelah rumahku. Mampir ya! Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada masa Kerajaan Mataram Kuno, yaitu sezaman dengan pembuatan candi-candi Hindu, seperti Candi Prambanan. Pada saat ditemukan pada tahun 1884, candi ini terpendam 6,5 mete

Lopis Kenangan

www.news.okezone.com Kamu gandeng tanganku pagi itu menyusuri gang-gang sempit di antara rumah yang berderet bisu. Kita masih malu-malu. Ya, sejak kamu mengikrarkan janji suci itu di hadapan penghulu, kamu boyong aku ke tanah kelahiranmu, Negeri Lancang Kuning. Di ujung gang, kamu giring langkah kakiku masuk ke sebuah kedai dengan plang nama “Barokah”. Melihat berbagai macam menu yang terpampang di etalase kaca, aku tahu jika ini warung khusus sarapan pagi. Ada delapan meja besar dan bangku pajang memenuhi ruangan. Di atas meja tersaji dua buah piring besar berisi jajanan-jajanan pasar dan minuman gelas. Kita memilih   duduk di sudut. “Kamu mau pesan apa, Dik?” tanyamu sambil menatapku. Aku hanya menggeleng. “Ada bubur kacang hijau, bubur beras merah, ada lontong, ada pulut dan pisang goreng, ada kwetiauw, ada nasi goreng, ada lontong paku, ada nasi uduk, ada lopis…, terus apa ya? Aku lupa, Dik. Kamu mau yang mana?”  Aku hanya tersenyum mendengar tanyamu. Kamu telah menyebutk

Yuan dan Lelaki Kecil

Dia selalu duduk di depan pintu gerbang ini pada jam yang sama, menanti Yuan yang akan selalu menemuinya. Kemudian mereka berbincang-bincang, Yuan akan mengeluarkan buku dari tasnya. Lelaki kecil itu akan terdiam mendengarkan apa yang Yuan katakan. Sesekali matanya beralih ke Yuan, menunjuk sesuatu yang ada di dalam buku itu. Dia menanyakan sesuatu yang tidak dipahaminya, kemudian Yuan akan menjelaskannya dengan perlahan. Mereka duduk di kursi tunggu di depan sekolah. Yuan menanti jemputan yang selalu datang terlambat dari jadwal kepulangannya. Ketika mobil jemputan Yuan datang, lelaki kecil itu akan memandang Yuan dengan raut sedih seolah takut jika esok tidak akan berjumpa lagi dengannya. Yuan Pramudya, siswa kela V salah satu SD swasta. Entah sejak kapan Yuan dekat dengan lelaki kecil penjual asongan di depan sekolahnya. Lelaki kecil itu akan membawa keranjang berisi kue-kue dan juga beberapa gelas minuman instant. Yuan hanya heran, diantara para pedagang makanan di depan seko

Teman Baru

        www.parents.mu        Dengan ter gesa kuucapkan salam . Hari ini sungguh terik sekali. A ku menuju dapur untuk mecari minuman dingin di kulkas. Tidak kulihat ibu di  sana , tetapi meja makan sudah penuh dengan beberapa lauk yang menggugah selera . Segera kuganti baju seragam , kemudian kucuci tangan dan kaki. Kulangkahkan kaki menuju kamar ibu. T erlihat ibu sedang menyusun buku-bukunya yang biasanya tertata rapi di lemari ke dalam kardus “Ibu, kenapa buku-bukunya dimasukkan ke dalam kardus? Memangnya mau dibawa kemana?” tanyaku penasaran. “Ini ibu mencicil mengepak barang-barang. Sebulan lagi ayahmu pindah kerja ke luar kota.” “Apa Bu, pindah? T erus bagaimana dengan sekolahku, B u?” “Nanti sekolah kamu ibu urus kepindahannya. Mengenai teman-teman, nanti disana  kamu juga akan punya teman baru yang banyak." “Ah malas , B u . P aling mereka tidak sepandai teman-temanku disini. Main Play Station dan main balap sepeda.” “Jangan begitu

Perjalanan Kura-Kura

“Kau mau kemana?” tanyamu pagi itu saat kau duduk menemaniku minum kopi. Kau sahabatku semenjak kita merantau di kota ini. Kupicingkan mataku menatapmu, sedang pikiranku mengelana mencari tahu sebab kaubertanya begitu. “Status WAmu,” kaujawab sambil menatapku, seolah tahu tanyaku. Kemudian aku terkekeh. Status WA-ku memang mengatakan jika aku ingin pergi. Akhir-akhir ini aku merasa jika dunia terlalu menyakiti. Bukan, hatiku yang sebenarnya rapuh. Tapi, ya, aku ingin pergi sesaat saja melihat indahnya sisi negeri yang lain. Dan apakah kalian percaya jika Tuhan mengabulkannya dengan cara tidak biasa? “Aku baru saja pulang berkeliling negeri.” Matamu membelalak mendengar jawabku. Di sana ada tanda tanya besar yang mengharapkan aku meralat pernyataanku. Kusesap kopi yang masih menyisakan harum aromanya. “Kau mengigau, kan? Apakah kau bikin drama lagi dengan si Kacamata, hingga omonganmu ngaco?” tanyamu begitu cemas. Tatapan matamu menerobos manik mataku mencari jawaban d

Tentang Reza

Setiap kedatangan kami matanya selalu berbinar, kemudian mulutnya akan berteriak-teriak. Itu bukan karena dia takut. Itu adalah ekspresi kebahagiannya menyambut kami datang. Kemudian kami, aku dan anak-anak, mendekat, menyapanya dengan riang,”Mas Reza.” Reza adalah keponakanku. Sepanjang usia dia habiskan hanya di atas tempat tidur, 23 tahun. Tubuhnya hanya sebatas kulit pembalut tulang. Bukan karena dia tidak diasupi makanan. Dia seperti kita, makan 3 kali sehari, satu porsi piring penuh. Nasi lembut, semacam nasi yang disuapkan untuk bayi berusia setahun. Melihat sejarah ke belakang, Kakak sempat mengalami demam tinggi saat sedang mengandung Reza. 23   tahun yang lalu mungkin peralatan rumah sakit belum secanggih saat ini. Pertumbuhan bayi tidak bisa terdeteksi sejak dini di dalam kandungan. Namun, Reza dilahirkan normal. Saat menatap fisiknya, tidak ada yang aneh sama sekali, fisiknya terlahir sempurna. Beberapa hari setelahnya,  keaehan terjadi. Bagian pusar reza waktu itu