www.pixabay.com |
“Aku tak mau merasakan ini, sungguh.” Kamu meratap di
depanku. Wajahmu penuh air mata yang berurai, napasmu tersengal-sengal, dan dadamu
naik turun mengikuti irama tangismu.
“Aku harus menghilangkannya. Aku tidak sanggup lagi merasakan
ini semua,” ujarmu lagi ketika tangismu sudah sedikit mereda.
Kamu terlihat berantakan, paras ayumu menghilang. Rambut
panjangmu terlihat seperti sabut kelapa. Matamu membengkak, meninggalkan bekas
lelehan air mata yang sudah mengering. Aku melihatmu selalu begini, setiap
hari. Ketika rumah ini sepi, hanya ada kamu dan aku di kamar ini.
“Aku sungguh lelah merasakan ini,” ujarmu akhirnya, sebelum
kepalamu tertelungkup pulas di atas meja.
***
“Kenapa masih sanggup merasakan ini, Bu?”
ujarmu kepada ibu pada suatu malam yang pekat ketika lelaki yang kamu sebut
ayah telah memporak-porandakan keheningan, dan menghilang di balik keremangan
malam. Menyisakan isak tangis kepedihan terhadap ibumu. Menuju pos ronda,
tempat dia menghabiskan malamnya dengan judi dan arak.
“Aku ikhlas menjalaninya. Mungkin ibu yang banyak salah,”
jawab ibumu dengan lembut.
Kamu pun hanya tercenung menatap ibu. “Terbuat dari
apakah hatimu, Ibu?” Sebuah tanya tiba-tiba menyeruak dalam hatimu, melihat
ibumu begitu pasrah menjalaninya
“Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk memutuskan
berpisah begitu saja. Aku masih berharap dia sadar lalu kembali seperti semula,
dan cita-cita kami terakhir kali adalah mendampingimu bersanding di pelaminan.”
Ucapan ibumu itu semakin membuatmu tercekat. Tiba-tiba seperti ada
sebuah batu besar yang diletakkan di kepalamu, berat.
***
“Aku tak sanggup merasakan ini semua. Sungguh, tak sanggup.”
Kamu berkata di hadapanku masih dalam keadaan yang sama, dalam uraian air mata.
“Sabarlah,” ucapku kepadamu, dan berharap kamu mendengarnya.
“Rasa ini begitu menyiksa. Sedih, dendam, rasa sakit yang
teramat sangat di dalam dada ini. Aku ingin menghilangkannya.”
Aku terdiam. Sorot matamu kepadaku mengharapkan persetujuan.
Aku tahu maksudmu.
“Jangan, jangan lakukan itu. Jangan!” aku mencoba berteriak
agar kamu mendengarku. Kilatan matamu aneh menatapku.
“Kamu tahu, memiliki rasa ini sungguh menyiksa. Jika aku tak
memilikinya, mungkin akan lebih tenang.”
“Tidak, dengan rasa itu kamu tetap hidup, bukan?”
“Tahu apa kamu tentang hidup? Hidup hanyalah luka.”
Kamu semakin terlihat gila. Aku menggeleng dan mencoba
menjauh darimu.
***
Sore itu, kamu mengajakku ke sebuah taman untuk pertama kalinya
sejak aku menjadi sahabatmu dua minggu yang lalu.
Kamu tidak melakukan apa-apa. Matamu hanya tersorot ke satu
arah. Seorang lelaki yang terlihat tak jauh dari usiamu sedang duduk membaca
buku di tepi kolam yang warnanya sedikit menghijau. Kamu seperti ragu untuk
mendekat.
Namun, langkah kakimu akhirnya mendekat. Sapaanmu
memalingkan wajah lelaki itu dari buku lalu kamu pun duduk di sampingnya. Kalian
saling bertukar cerita. Buku menjadi topik utamanya. Aku dapat merasakan
bunga-bunga bermekaran di hatimu. Meskipun demikian, pikiranmu tak sepenuhnya
mendengar lelaki itu bicara karena sebuah mimpi terbayang dalam benakmu.
Senja pun mulai menghilang. Kalian mulai beranjak pergi.
Kalimat perpisahan dari bibir lelaki itu membuat mendung di wajahmu seketika.
Terasa aroma perpisahan yang sesungguhnya.
***
“Kuputuskan, aku akan menghilangkan rasa ini,” ucapmu pada suatu
malam sunyi ketika mata bulatmu enggan terpejam semalaman. Kamu belai mesra kepalaku.
“Caranya?” tanyaku hati-hati meski aku bisa membaca isi
hatimu. Aku pun yakin jika kamu bisa mendengar setiap perkataanku.
“Tentu hanya kamu yang bisa membantuku. Kamulah yang akan
melaksanakan pekerjaan itu.”
“Aku tak mau. Jangan lakukan itu. Tuhan akan murka.”
“Hahahahaha, Tuhan murka? Kenapa Tuhan selalu memberikan
kesedihan dalam hidupku?”
“Karena Dia mencintaimu.”
“Persetan dengan cinta. Jika cinta, seharusnya Dia lebih
banyak memberikanku bahagia.”
“Karena Dia mencintaimu. Jangan lakukan itu.”
“Sudah, cukup. Aku sudah putuskan ini. Kamu yang harus
melakukannya. Ingat, pukul 1 dini hari.”
Meski perkataanmu menggebu-gebu, aku masih melihat sedikit
keraguan di hatimu. Gejolak amarah dan kecewa sepertinya sedang menguasaimu.
“Aku sudah lelah merasakan ini.”
Hari itu, kamu tinggalkan aku sendiri, di kamar ini. Kamu
bahkan tak menyapaku. Mungkin kamu tak mau aku berucap untuk menggoyahkan
pendirianmu.
Kamu setting jam bekermu menunjuk angka satu. Waktu
yang harus kusepakati untuk membantu melakasanakan keinginanmu.
***
Kamu, bangunlah! Tidakkah kamu sadar aku terperangkap di
tempat lain, tak bersamamu lagi di sana?
Kamu, bangunlah! Tidakkah kamu dengar keributan ini?
Aku mencoba melirik pintu kamarmu yang sedikit terbuka.
Berharap kamu berlari dari sana, menyelamatkanku dan ibumu dari cengkeraman
tangan kasar lelaki yang kamu sebut ayah.
Lihatlah, ibumu hanya pasrah dalam cengkeraman tangan lelaki
itu. Ibumu mempertahankan uang yang diminta lelaki itu untuk berjudi, dan
tahukah kamu jika ibumu sudah memutuskan ingin berpisah dengan lelaki ini?
Kamu, bangunlah!
Namun, aku tak bisa berteriak lagi. Ketika lelaki itu
mengayunkanku ke tubuh ibumu. Bersamaan ketika kamu berlari dari kamarmu. Semua
pun terlambat. Kamu hanya menangisi dan memeluk jasad ibumu.
Tanganmu lalu berkelebat cepat. Kamu ambil aku dari tubuh
ibumu, dan segera kamu hunjamkan ke dadamu. Namun, aku tak mau. Aku meloncat,
dan akhirnya kamu hanya tergugu-gugu.
Aku hanya bisa menatapmu, dan berkata, “Tuhan begitu
mencintaimu, dan ingin kamu mendekap-Nya erat.”
(end)
bikin buku mbaaaa, tulisannya bagus banget enak dibacaaaa :( , sapa tau bisa bikin novel atau drama karangan dikit dijadiin buku gitu hhe :D
ReplyDeletesetujuuuuuu!
Delete^ o^)9
Laaah...
ReplyDeleteMbak wiiid, saya baca tulisan di sini wokeh punya....
Kece badainyya Taifun Carlina banget!!!!
Hahahaha
Saya koreksi deh, dapatnya 9/10!!!
Lanjutkan berkarya mbak!