Sumber:google |
“Kamu masih belum pandai membuat
rasanya menjadi pas Beth?” ujar Bapak ketika Beth menyajikan secangkir kopi
buatanya.
“Kamu hanya perlu
membiasakan”. Beth hanya terdiam. Bapak tahu jika Beth tidak menyukai kopi, dan
jarang sekali membikinnya.
Kopi dan teh, dua jenis
minuman yang banyak di gemari orang. Namun Beth tidak pernah tertantang untuk
membuat kopi hingga racikannya menjadi pas di lidah. Mungkin kenangan pahit,
sepahit rasa asli kopi itu sendiri yang membuat Beth enggan menyajikannya. Dan
bagi Beth semuanya diganti dengan manisnya teh, hingga Beth menyebutnya Teh
kenangan.
“Kenalkan dia pada Bapak,
usiamu sudah tigapuluh sekarang.”
“Siapa?”
“Lelaki yang pernah
mengantarmu pulang beberapa waktu yang lalu.”
Beth menelan ludah.
Lelaki berasa sepahit kopi, pernah mengantarkan pulang Beth ketika lebaran
tahun lalu. Namun Bapak tidak sempat menemuinya, lelaki itu pun tak sempat
menunggu bapak yang saat itu sedang kenduri.
“Ya pak, nanti Beth kenalkan
jika sudah ketemu. Lelaki yang mungkin lebih menyukai secangkir teh daripada
secangkir kopi.”
Kening Bapak berkerut
seolah memikirkan sesuatu.
##
“Untuk apa datang lagi?” ujar
Beth sambil mengaduk-aduk secangkir teh, menunduk mencoba menyembunyikan rasa
yang tersirat di wajah dan matanya.
“Kamu tidak berubah,
masih menyukai teh. Masih suka menunduk diam ketika aku ajak bicara.”
Beth masih mengaduk-aduk
tehnya. Secangkir teh selalu membawa kenangan, pun kenangan tentang lelaki berasa
kopi. Di salah satu rumah makan di tepian pantai bersama lelaki berasa kopi,
sepuluh tahun yang lalu.
“De ja vu” desis Beth.
“Kenapa Beth?” menatap
Beth yang masih menunduk dengan secangkir tehnya mencari sesuatu makna dari
rona mata Beth yang tidak bisa di temukannya.
Sepuluh tahun lalu di
tepian pantai yang sama, masing-masing menikmati kopi dan teh. Menatap pantai
pasir putih yang bersih, dan sejuknyan angin membelai wajah mereka.
Juga cerita Beth tentang
impiannya untuk menjadi seorang sekretaris, untuk menjadi penulis di sela-sela
waktu luangnya dan untuk memiliki sebuah perpustakaan untuk anak-anak di
desanya. Dan ketika laki-laki berasa kopi itu menganggap mimpi Beth terlalu
sempurna.
“Mimpi kita berbeda” ucap
lelaki itu akhirnya.
Beth terpana. Kata-kata
yang tidak di harapkan Beth keluar dari lelaki berasa kopi itu. Hati Beth
luruh, impiannya bersama lelaki berasa kopi itu seperti jauh di telan ombak di
ujung pantai. Sore itu berubah menjadi mendung di hati Beth.
Dan ketika laki-laki berasa
kopi itu menemuinya kini, Beth merasa dunianya kembali lengkap.
##
Lelaki selalu saja tidak puas dengan apa yang telah di milikinya, rutuk Wulan dalam hati. Hatinya selalu bergemuruh hebat ketika lelakinya menyebut kenangan masa lalunya.
“Ceritakanlah cinta
pertamamu kepadaku”, pinta Wulan malam itu ketika purnama masih bulat sempurna
menyaksikan Wulan dan Pras yang sedang bahagia menikmati bulan madunya. Tidak
ada rasa aneh di hatinya ketika Pras menceritakan cinta pertamanya. Wulan tetap
merasa menjadi wanita yang paling beruntung, karena Pras memilihnya menjadi
pendampingnya.
Namun kemudian ketika sepuluh
tahun usia perkawinanya maka mengalirlah cerita-cerita Pram yang selalu membuat
hati Wulan bergemuruh hebat. Selalu. Di hari-hari selanjutnya.
“Dia wanita cerdas,
mandiri dan punya visi ke depan” cerita yang sama selalu di ulang Pras.
Hati Wulan selalu protes,
namun lidahnya kelu untuk menyampaikan kepada Pras.
Wulan ingat bahwa pilihannya
untuk menjadi wanita yang mengurus rumah tangga, anak-anak dan suaminya
merupakan keputusan bersama antara Wulan dan Pras, pun ketika Wulan mecoba
berbisnis dirumah Pram tidak pernah mengijinkan.
“Aku masih bisa
menghidupimu dengan cukup layak bukan” dalih Pram setiap Wulan mengajukan
keinginannya.
Wulan akhirnya
benar-benar terdiam dan melupakan semua mimpi-mimpinya.
Wulan menjatuhkan badannya
di ranjang. Ranjang itu terasa luas, sejak Pras sering mendapat tugas keluar
kota. Malam mulai merangkak dingin, ketika Wulan menarik selimutnya berharap
menebarkan kehangatan di jiwanya.
##
Asap kopi masih mengepul
di hadapan lelaki berasa kopi. Angin semilir pantai menyejukkan suasana pantai
sore itu. Selalu di sini. Di tepi pantai pasir putih, Beth dan Lelaki berasa
kopi itu menikmati pertemuan.
“Kamu terawat baik” puji
Beth kepada lelaki itu. Lelaki berasa kopi hanya tersenyum.
Kembali mereka terdiam,
menghamparkan pandangan di laut yang bersih. Seperti sepuluh tahun yang lalu.
Tak ada yang berubah di pantai ini. Hanya bangunan untuk pemandian semakin
banyak di bangun.
“Kamu tak berubah, dan
aku yang salah tidak mengenal diriku sendiri dengan baik”.
Beth tak mengerti,
menatap ke wajah lelaki berasa kopi itu. Namun dia hanya menyeringai. Tak ada
jawaban.
Detik waktu berlalu, hati
Beth berdesir ketika lelaki berarasa kopi itu menawarkan sesuatu. Sesuatu yang tiba-tiba
menghangatkan hatinya dan mengingatkan Beth atas lintasan waktu sepuluh tahun
lalu. Sam, teh kenangan itu akan berisi cerita yang sempurna, batin Beth
teringat Sam tiba-tiba.
##
“Aku heran, mengapa kau
menghabiskan hati dan perasaaanmu untuk sepuluh tahun yang sia-sia” pertanyaan
Sam di suatu sore di teras rumah, nadanya terdengar putus asa. Suasana yang
sama, secangkir teh menemani dan diiringi gemerisik daun pohon bambu yang
saling bergesekan.
“Dia kemarin datang”.
Beth dan Sam sama-sama
terdiam, menyeruput secangkir teh yang tergantung di ujung jemari. Sam tahu tak
perlu menengahi berbicara ketika Beth sedang bercerita.
“Aku harus mengakhiri
dengan sebuah keputusan”
Sam tertegun kali ini. Di
tatapnya Beth. Tapi Beth justru kemudian tertawa.
“Aku bodoh”.
“Tidak, kamu tidak bodoh.
Kamu hanya perlu meyakinkan hatimu”.
Beth menoleh kepada Sam.
Satu-satunya sahabat lelaki yang selalu mengerti dirinya.
“Sepertinya aku harus
menunaikan janjiku pada Bapak diusiaku yang sudah tigapuluh ini”.
Sepi tak ada suara.
“Apakah salah jika aku
memutuskan menjadi yang kedua?”
Sam terdiam, sangat
mengerti maksud Beth. Beth teman Sam sejak SMP. Dan menjadi akrab ketika akhir
SMA menjelang hingga kini. Beth yang mengajari Sam untuk menikmati secangkir
teh. Dan Aroma teh itu lebih harum dan rasanya jauh lebih nikmat jika di
nikmati berdua dengan Beth. Namun sebuah keputusan sedang di rancang Sam kini.
##
Beth bergidik membayangkan darah yang mengalir
dari luka itu. Tapi wajah perempuan itu tak menyiratkan luka. Wajahnya hanya
menyiratkan kekecewaan yang terpendam.
“Aku
cemburu, dadaku terasa sakit setiap mendengar dia menyebut wanita itu”
Beth
mencoba mendengarkan dan memahami cerita perempuan itu.
Ketika
piring beterbangan di ruang dapur. Ketika pecahan kacanya mengenai dahi
perempuan itu.
Mata perempuan itu
menerawang. Di seruputnya secangkir white coffe yang telah terhidang di meja.
“Aku hanya ingin di
hargai”
Pertemuan Beth dengan Wulan
bukan tanpa di sengaja. Lelaki berasa kopi itu yang telah menelponnya secara
tiba-tiba. Lelaki yang ingin membagun istana kedua dengan Beth. Lelaki yang
telah menebarkan rasa kopi di hati Beth tetapi tidak pernah mengubah rasa hati
Beth sendiri terhadap lelaki berasa kopi itu, meski rentang waktu telah
berjalan sepuluh tahun.
“Kamu wanita hebat Wulan,
mampu menjadi ibu dan istri yang baik selama ini”
Perempuan itu –Wulan-
tersenyum sinis.
“Aku akan melepaskannya”
##
Beth tersenyum memandangi
selembar foto di tangannya.
“Cerita tentang teh
kenangan itu telah tamat Sam, meski akhirnya tidak sempurna” bisiknya lirih.
Jawaban Beth kepada Sam
di malam itu ketika rembulan hanya bersinar separuh. Di teras rumah. Seperti
biasa. Secangkir teh menemani mereka.
“Mengapa?”
“Hatiku tidak ingin
berwarna pekat seperti kopi”
Sam tersenyum.”Apakah aku
tidak bisa menyempurnakan cerita tentang teh kenangan itu Beth?”
Beth bergeming.
Hatinya berdesir “Tak ada
lagi kenangan tentang teh itu Sam. Kamu dan Wulan adalah orang-orang hebat. Dan
aku masih harus menemukan kehebatanku di mana.” Beth menjawabnya dalam diam.
Beth tersenyum, tidak akan
Beth ijinkan lelaki berasa kopi itu membangun istana kedua untuknya. Seharusnya
istana pertama terbangun dengan sempurna untuk Wulan. Pahit kopi yang di
taburkan lelaki berasa kopi itu akan di ubahnya menjadi aroma melon dari syrup
Marjan. Tidak ada lagi teh dan kopi. Beth tersenyum lagi. Tangannya masih
menggenggam selembar foto, Foto pernikahan Sam seminggu yang lalu.
-End-
Mari Menulis #ODOP hari ke 5
Jadi pengen kopi
ReplyDeleteHehe