www.pixabay.com |
Sebuah panggilan berdering di hapeku. Ketika Aku masih bergelut dengan selimut dan mimpi waktu itu. Namun instingku seolah berkata bahwa itu bukan panggilan biasa.
Waktu
subuh baru saja usai. Beberapa bapak-bapak berpakaian koko dan bersarung lewat
silih berganti di depan rumah. Ku tatap
langit yang cerah meski hatiku tertutup mendung kelabu. Sebuah bintang yang bersinar terang masih
terlihat jelas di sana. Itukah bintang kejora? Lamunanku di hentikan dengan
datangnya mobil taxi pesananku. Aku segera bergegas masuk kesana.
Taxi
melaju pesat membelah jalanan, seolah tahu jika aku ingin segera sampai bandara
Sultan Syarif Qasim. Burung besi mengantarkaknku menuju kota kelahiranku
Yogyakarta. Aku mengangguk ketika seorang lelaki paruh baya menawarkan taksi untuk ku
tumpangi di pintu kedatangan Bandara Adisucipto. Kembali taksi membelah jalanan
yang padat menuju istanaku. Hingga tiba di jalan tak beraspal, yang selalu berlumpur jika hujan lebat menderanya. Jalan
ini masih saja tak berubah meski sudah lima tahun aku tinggalkan.
“Kamu
akan selalu menjadi bintang di hidupku,” hiburmu waktu itu, saat aku menangis
tersedu-sedu ketika aku tidak terpanggil maju ke panggung sebagai bintang
sekolah waktu penerimaan raport kenaikan kelas di SMU tercintaku. Tangisku kemudian
mereda dan kemudian kusandarkan kepalaku di bahumu. Ah aku yang serakah waktu
itu. Aku yang selalu ingin menjadi nomor satu. Aku yang tak ingin orang lain
merebut posisiku.
“Kunci kebahagiaan adalah ketika kamu
bisa mensyukuri setiap pemberian ataupun takdir Tuhan, dan berusaha terus untuk
menjadi lebih baik,” nasehatmu lagi di lain waktu. Ketika aku bersedih tidak
bisa masuk Universitas Negeri impian di kotaku. Meski aku di terima di salah
satu Universitas negeri di Pulau Sumatra, sebagai pilihan keduaku. Hingga kemudian
tetap mengabdikan diri di Universitas ini menjadi Dosen, dan sudah lima tahun
meninggalkanmu.
Ketika
aku sampai, tubuhmu masih terbaring di sana. Ku tatap wajah teduhmu yang mengambarkan
hati yang selalu di selimuti keihlasan. Aku akan merindui mu selalu, batinku. Bahkan ketika kini kau masih bisa ku
pandang rasa rindu itu sudah menjalar memenuhi hatiku. Aku tak lepas menatapmu,
hingga sebuah tepukan lembut membangunkan kesadaranku. “Sudah saatnya”, pemilik
tangan lembut yang menepukku membisikan kata itu di telingaku. Aku hanya
mengangguk. Aku tahu perpisahan itu sudah terjadi.
Selamat
Jalan Ayah. Semoga Allah tempatkan engkau di Istana terbaik di sisiNya.
sediiihhhh,
ReplyDeleteSedih bacanya 😢
ReplyDeleteSendu
ReplyDelete:( cedih bacanya, jadi teringat dengan ayah...
ReplyDeleteSelalu sensitif dengan segala cerita tentang ayah.
ReplyDeleteTerimakasih bunda mengingatkan ku untuk tak bosan bercengkrama dg beliau selagi ada, meski keriput merebut kegagahannya.
Tapi bagiku beliau tetap laki laki terkuat dalam hidupku...
iya berbaktilah kepadanya sebisa mungkin, sebelum beliau meninggalkan kita
DeleteAyah dalam sunyi sepi ku rindu
ReplyDeleteSelalu terkenang ayag Gilang
DeleteMbrebes mili aku membacanya mbakyu ...
ReplyDeleteiyo, idenya yang muncul tiba-tiba teringat ayah
DeleteJadi inget almarhum bapakku mba.
ReplyDeleteiya mbak ini terinspirasi dari almarhum Bapak
DeleteKukira siapa.. ternyata Sang Ayah... pilu... hiks
ReplyDeletekok aku mewek yah mbak TT.TT dluar dr itu, ketika membacanya, saya belum menemukan kata-kata yang mengganggu :') maafkan sy mbak ^^ sy br blajar nulis juga :')
ReplyDeletesemangat yaa mbak... touched post :')
ReplyDeleteInspiratif. Begitulah cara Allah memberikan hikmah
ReplyDeleteSediiih bacanya mba, hiks..
ReplyDeleteSediiih bacanya mba, hiks..
ReplyDeleteHiks... sedih, jd teringat alm bapak sy :'(
ReplyDeleteHiks... sedih, jd teringat alm bapak sy :'(
ReplyDelete