Aku tak bisa mengenalnya lagi. Sosoknya luar biasa berubah. Kelembutan
setiap tutur kata yang selalu diikuti kelembutan dalam setiap geriknya,
membuatku selalu berkaca waktu itu. Aku yang lebih mudah naik darah, berbicara
kasar dan jauh dari kesan orang jogja yang terkenal lemah lembut. Sangat kontras dengan perangainya.
“Aku
ingin bicara,” ucapku siang itu di depanmu. Tetapi kamu tak memandang sebelah
matapun padaku. Hanya dehemanmu yang ku dengar samar, seolah menandakan
setengah hatimu mendengarkan perkataanku. Sebenarnya hatiku nelangsa. Kau
anggap apa sih aku ini? suara batinku berucap. Tetapi aku harus menguatkan
hati. Aku tak boleh mengalah hanya karena perlakuanmu yang tidak mengenakkan
hatiku.
“Mengapa
itu harus terjadi?” ku coba memulai lagi percakapan.
“Apa?”
tanyamu ketus seolah tidak tahu apa yang ku maksudkan. Bahkan kau angkat tinggi
koran yang kau pandangi sehingga menutupi seluruh raut wajahmu. Ingin ku lempar
sisir yang kebetulan tak jauh dari jangkauanku.
“Dengan
siapa kemarin?” tanyaku berusaha terdengar tegas.
“Bukan
siapa-siapa,” jawabmu ringan dan tanpa perasaan berdosa. Bahkan tanpa menoleh
sedikitpun padaku. Aku hanya ingiin menyelesaikan masalah ini baik-baik dengan
kepala dingin.
“Jika
bukan siapa- siapa, seharusnya kau temui dia diluar. Tidak perlu kau ajak masuk
mengunci di kamar.”
Kamu
hanya terdiam.
“Apa
kau ingin menikah lagi dengannya?”
“Apa
urusanmu sih?” jawabmu dengan emosi.
Mataku
mendelik mendengar ucapannya. Ingin tanganku ini melayang menampar mulutnya.
“Emang
kau anggap aku ini apa?” tanyaku lagi. Airmataku mengalir lagi. Airmata
kemarahan dan rasa hati yang tercabik oleh sayatan lidah. Aku tergugu melihatmu semakin tak peduli.
Bersambung
mb wid jago bikin penasaran...dugaanku pd bag 1 salah..hehehe
ReplyDeleteHmm, ini sudut pandang dari si perempuan, yah? Dari istri?
ReplyDeleteIya nih, penasaran...
Wah... perdebatannya seru.
ReplyDeleteWah... perdebatannya seru.
ReplyDelete