![]() |
www.pixabay.com |
Wajah
itu masih ku kenal, meski tirus pipinya tak seperti yang ku kenal dulu. Sekejap
matanya menatapku, kemudian senyum kecil tersungging di bibirmu. Aku sedikit
salah tingkah. Tak pernah mengharapkan dan membayangkan jika pertemuan ini
terjadi. Enampuluh purnama lebih menyembunyikanmu ke dunia yang aku tak tahu.
Kini di tempat yang sama lima tahun yang lalu, Stasiun Lempuyangan, kita bertemu.
Kita
masih saling membisu, suara riuh menemani kesunyian kita. Sepertiya pikiran
kita saling mengembara, melayang dari jiwa kita sesungguhnya. Sepertinya kamu
pun sibuk menerima telepon dari seseorang. Entah itu rekan kerja ataupun
mungkin istrimu. Sepuluh menit lagi jadwal kedatangan Kereta Prameks, kereta
langgananku yang akan membawaku ke Solo tiba. Setiap hari aku harus
menghabiskan waktu pulang pergi Jogja-Solo, mengajar di salah satu Universitas
swasta di sana.
Keretaku
tiba tepat waktu. Aku segera berdiri untuk ikut mengantri, berharap kursi
kosong masih bisa ku duduki. Para penumpang naik satu persatu dengan rapi. Pagi
ini sepertinya kereta tidak terlalu penuh. Masih banyak bangku ksoong yang bisa
ku pilih dengan suka hati.
Aku
tak menghiraukanmu lagi. Kemudian memilih duduk ditepi dekat jendela. Posisi
duduk kesukaanku, aku lebih suka menatap pemandangan di luar sana seolah-olah
pepohonan ikut berlari meninggalkanku. Pikiranku akan mengembara merangkai
untaian cerita di kepala. Ketika tiba-tiba suaramu mengejutkanku.
“Bolehkah
duduk disini?” ucapmu sambil menunjuk kursi kosong di sebelahku.
Aku
hanya mengangguk. Detak jantungku terpompa sedikit cepat dari sebelumnya. Ada
desir aneh yang melintas di sana. Kita berdua sama-sama membisu. Aku masih
larut menikmati pemandangan diluar yang tak pernah membuatku jemu. Entah dengan
pikiranmu.
Sisi
mataku menangkap jika matamu menatapku. Namun aku bertingkah seolah tidak tahu.
“Win,
Apa kabarmu?” akhirnya suaramu menanyakan kabarku.
“Baik,
seperti yang kamu lihat sekarang,” jawabku sambil menoleh sebentar kepadamu.
“Kamu
terlihat bahagia,” ucapmu lagi tanpa mengalihkan tatapanmu padaku.
“Apakah
kamu tidak?” aku balik bertanya mencoba menatapmu mencari kebenaran. Namun hanya
sesaat. Kamu hanya tersenyum.
Kita
kembali saling membisu. Aku pun tak ingin tahu lebih banyak tentangmu.
Pemberitahuan
petugas kereta jika kereta sebentar lagi berhenti di Stasiun Balapan, Solo
terdengar menggema diruangan kereta.
Kita
masih saling terdiam ketika turun dari kereta. Aku menangkap sikapmu yang
gelisah sesaat sebelum kita benar-benar berpisah. Entah. Aku melangkah keluar
stasiun setelah tersenyum dan menganggukkan kepalaku padamu. Pun kamu sama.
Aku
tahu tak perlu ada yang di bicarakan lagi tentang kita di pertemuan yang tak
terduga ini. Cincin perak telah melingkar di jari manismu. Aku masih teringat
dulu, bahwa kamu mengatakan jika benda itu kelak yang akan menandai jemari
manismu jika telah menikah. Seperti halnya cincin emas yang melingkar di jari
manis seorang wanita ketika telah menikah. Meski kemudian kamu tiba-tiba lenyap tanpa kabar bagai ditelan bumi, enampuluh purnama yang lalu.
Pertemuan
ini hanya untuk menyelesaikan sedikit desir aneh di hatiku yang masih tersisa akan kenangan tentang kita.
Mbak wid..dilanjutin ceritanya..penasaran.hehehe
ReplyDeletetamat mbak e
DeleteKenangan tentang kita?
ReplyDeleteTulisan mbk Wiwid jadi semakin membuatku ikut berkelana ke kenangan2 masa laluku :)
Flash Mini ata bersambungkah ini mbkyu?
hehehehehe
Deletetamat kang..ben gak nduwe utang
Ehm ... Mungkinkah ini sepenggal kisah lalu itu, yg diterjemahkan dgn suasana yg berbeda...
Deletewkwkwkwkwkwk
Deletemurni fiksi
Rangga ???
ReplyDelete