![]() |
www.kobowritinglife.com |
19
Maret 2016
Lelaki itu selalu
datang di akhir minggu. Selalu memesan menu yang sama. Ah tidak, kemaren lelaki
itu memesan minum jeruk hangat. Meski sebenarnya menu itu tidak ada di coffee,
namun para pelayan dengan sigap membuatkan untuknya. Karena lelaki itu Customer special Coffeebook Lovato. Punggung
lelaki itu terguncang dari kejauhan, tangan kanannya menutup mulutnya dengan sapu
tangan. Sepertinya lelaki itu sedang terbatuk-batuk. Oh itu mungkin mengapa dia
hanya memesan minum jeruk hangat.
Ketika pramusaji
menyajikan minumannya. Secarik kertas di ulurkannya kepadanya, sambil
menggumamkan sesuatu. Sang pramusaji itu menatap secarik kertas yang di ulurkan
lelaki itu, kemudian mengangguk dan beranjak pergi.
Novel yang di baca
lelaki itu masih sama, Novel bersampul biru. Dan lelaki itu beranjak pergi
ketika jam mengharuskan café di tutup dan beribu kata maaf selalu terucap
darinya.
15 Januari 2011
“Aku harus pergi,
mencari peruntunganku. Aku ingin sekolah tinggi sepertimu juga meneruskan usaha
yang sudah di rintis orang tuaku,” ucapmu di suatu senja. Selalu senja yang
gerimis.
Aku terdiam. Aku bukan
tidak mengenal dirimu. Kamu seorang yang ulet, pantang menyerah. Itu sebabnya
aku kagum padamu. Namun kalimatmu tersebut mengisyaratkan suatu perpisahan.
“Kenapa tiba-tiba
memutuskan itu?” tanyaku meminta penjelasanmu. “Bukankah kita punya cita-cita
bersama? Atau jika tidak, mulailah mimpi yang pernah kita ukir biar kau tetap
disini,” kalimatku tidak berhenti seolah menghalangi hatimu agar tidak pergi
meinggalkan mimpi kita.
“Aku sebenarnya iri
kepadamu. Kamu bisa bekerja dengan posisi yang lumayan dan juga masih sempat
menyisihkan waktu untuk kuliah. Aku ingin sejajar denganmu,” jawabmu tanpa
ragu.
“Aku tak pernah
membandingkan dirimu. Aku menyukai dirimu seperti itu adanya. Kamu punya
potensi lain yang tidak dimiliki lelaki lain,” aku mencoba meyakinkanmu.
“Aku akan menjemputmu
ketika kamu sudah selesai kuliah”. Kata singkatmu yang akhirnya membuat kita
tidak berdebat soal keinginanmu pergi, hingga kamu benar-benar pergi dariku.
Aku tertegun, namun
sedetik kemudian aku tersenyum. Aku pun yakin padamu. Kamu tidak akan
berpaling. Kamu selalu menepati janji. Aku hanya tersenyum, dan untaian kata
penyemangat aku ucapkan untukmu hingga aku melupakan bahwa perpisahan denganmu
sedang berada di ambang mata.
Aku mengantarkan kepergianmu. Entah mengapa
tiada airmata yang mengalir di pipiku. Aku hanya terpaku, seolah ini hanya
mimpi tidurku. Hingga ketika burung besi yang akan membawamu kekota kelahiranmu
tidak tampak lagi di mataku, hatiku barulah sepi. Airmataku menitik perlahan.
Dua belas purnama,
surat-surat romantismu selalu hadir di hadapanku. Isi suratmu tidak pernah lupa
menanyakan Novel kenangan kita. Aku selalu tersenyum. Draft tulisan tetang
novel itu masih tersimpan disalah satu folder laptopku. Seratus dua puluh halaman
kini. Aku belum ingin menyelesaikannya.
Karena kenangan bersamamu selalu ada.
bersambung
Novel bersama. Romantis sekali kedengarannya, mba.
ReplyDelete