![]() |
Koleksi Pribadi:Masjid Penyengat "Masjid Raya Sultan Riau" |
Setiap
melakukan perjalanan ke sini aku selalu mengubah status di BBM ku. Aku tak tahu
alasan pasti. Agar dia membacanya dan mengetahui jika aku sedang menyusuri
jalan kenangan yang pernah kita lalui? Mungkin. Sedang aku tahu jika dia lebih
sering tidak mengaktifkan internetnya. Jikalaupun sempat mengaktifkan
internetnya akankah dia membaca status BBMku? Sedang mungkin notifikasi dari
sekian ratus teman BBMnya memenuhi ikon notifikasi.
Sebenarnya
bukan jalan kenangan, namun sepanjang perjalanan ini penuh kenangan dengannya.
Berawal ketika dia mengulurkan tanganya menawarkan bantuan kepadaku ketika akan
memasuki kapal ferry. Jarak kayu tangga dan kapal yang kadang merenggang karena
deburan ombak yang menggoyangkan kapal membuatku kadang ragu untuk melangkah
masuk ke kapal. Dan aku ragu menatap uluran tangannya, tanganku dan tangannya
yang selalu berusaha dijaga dari sentuhan lawan jenis. Dan akhirnya kuberanikan
melompat tanpa menangkap uluran tangannya.
Dia
berjalan di depanku, menuruni tangga menuju dek bagian bawah. “Agar dapat
menatap deburan ombak,” itu alasannya memilih dek bagian bawah. Kemudian dia
memilih kursi di bagian tengah, aku mengikutinya dan duduk di deretan kursi di sampingnya. Ku
biarkan dua kursi kosong memisahkan jarak diantara kita.
Dia
syahdu menikmati omak yang menggulung dan sesekali menampar kaca kapal. Aku
mencoba menutupi kebahagiaan berada di dekatnya dengan membaca novel Dua lelaki
pilihan karya mbak Nurul F Huda. Namun entah mengapa aku tidak bisa
konsentrasi. Ku coba pejamkan mata, sekilas ku lirik dia. Wajahnya masih
menatap ombak yang bergelombang. Langit biru hari itu semakin menampakkan
keindahan air laut. Buih-buih airnya memantulkan kilauan seperti permata, indah
sekali.
Ku
coba memejamkan mata. Namun tiba-tiba aku ingat sesuatu. Ayu. Temanku yang
menemani perjalanan kita. Kukutuk diri sendiri karena hati tertutup
kegembiraan, melupakan Ayu. Namun seketika ku teringat jika Ayu pamit untuk
duduk di dek atas. Dan kenapa aku jadi sepikun ini tiba-tiba. Ayu pun seolah
memberi kesempatan padaku untuk berduaan dengannya. Meski di sisi lain hatiku ada
resah dan rasa yang tak nyaman dengan keadaan seperti ini.
Kulirik
Alba mungilku. Sekitar tigapuluh menit lagi kapal mendarat di pelabuhan Tanjung
Pinang. Ku coba memejamkan mata. Menetralkan hati yang kelewat bahagia.
“Trista,
bangun,” suaranya membangunkan nyenyak tidurku. Aku terkesiap dan menatap
keluar. Kapal mulai merapat ke pelabuhan. Para penumpang sudah berdiri
mengantri, meski kapal belum merapat sempurna.
Kita
bertiga berjalan beriringan menuju pelabuhan yang menuju Pulau Penyengat. Kapal
kecil yang bisa memuat sepuluh penumpang itu akhirnya bergerak meninggalkan
Pelabuhan Tanjung Pinang menuju Pulau Penyengat. Tanganku gembira bermain
dengan air laut yang bisa kuraih riaknya. Lima belas menit kemudian kapal
merapat. Lagi-lagi tangannya mengulurkan bantuan, berdiri di tangga dermaga dan
aku di ujung pompong yang bergoyang kuat karena ombak. Kali ini tidak ku tolak.
Aku begitu ngeri melihat laut yang berada di bawah kakiku. Ayu hanya tersenyum
melihatku di atas dermaga.
Menaiki
tangga masjid, aku dan Ayu sibuk berfoto Ria. Pengunjung tidak padat, karena
bukan hari libur saat itu. Dia berpamitan untuk menunaikan sholat dhuha di
Masjid kuning ini. Aku dan Ayu mengangguk, kemudian menyusulnya setelah puas
berfoto ria.
Kemudian
kita bertiga berjalan menyusuri pulau. Menuju makam- makam Raja-Raja kesultanan
Melayu Riau. Kita bertiga tidak benar-benar berziarah di depan nisan para
Raja-Raja dari kesultanan Riau ini. hanya sebentar menatap dan kemudian
berjalan menyusuri jalan aspal setapak. Pada akhirnya kita bertiga istirahat di
Gedung Balai adat. Sambil menikmati desiran angin pantai yang membentang di
depannya.
Beberapa
pedagang menjual berbagai kerajinan tangan sebagai cindera mata di pintu masuk
Gerbang Gedung Balai adat. Beberapa saat kemudian dia beranjak pergi, berdiri
diantara pedagang-pedagang cinderamata. Kemudain kembali lagi. Sebuah gelang
seperti tiruan permata dia ulurkan untukku. Aku mengambilnya dengan ragu.
Jam
menunjukkan hampir pukul 12 siang. Dia mengajakku dan Ayu untuk kembali ke
Masjid Kuning “Masjid Raya Sultan Riau” untuk berjamaah sholat Dhuhur. Kita
kembali dengan menyewa bentor. Tentu saja aku dan Ayu berdua. Dan dia seorang
diri dengan bentornya.
“Trista,
ayo segera naik,” panggilan seorang teman membuyarkan lamunanku. Aku segera
beranjak menaiki kapal fery. Tujuanku saat ini sama, Pulau Penyengat, pulau
yang sama kita susuri disetiap jengkal perjalanannya, 10 tahun yang lalu. (end)
Hmm, siapa dia mbak wid? Kepo deh aku
ReplyDeleteHmm, siapa dia mbak wid? Kepo deh aku
ReplyDeleteMasa lalu cieee masa laluu...
ReplyDeleteSyahdu yah ceritanya. Hihihi.
ReplyDeleteoh ini cerpen ya.....saya kira catatan perjalanan, baca judulnya, hehe
ReplyDeletembak riawani mampir. lagi belajar fiksi mbak. tapi nggak tahu ngasih judulnya
Delete