![]() |
www.pixabay.com |
3 tahun 3 bulan 23 hari terhitung sejak kau meninggalkan aku. Tak ada yang perlu ku sesali, ketika perpisahan itu terjadi. Meski sosokmu masih membayang di pelupuk mataku, namun hati ini kini telah membeku. Desiran aneh itu tak ku rasa lagi, hanya rasa tawar yang kurasakan ketika kini kau ada di hadapanku.
Selalu sama, kata yang keluar dari orang yang merasa bersalah. “Maaf”, seolah 4 huruf ataupun satu kata itu bisa melunasi luka-luka yang telah tertimbun begitu menyakitkan di hati.
“Jika kamu memang mencintainya, tentu tak ada luka di hatimu. Kamu akan mudah memaafkan”. Hati kecilku berbisik ataupun kata-kata orang di sekitarku.
Haruskah cinta berkorban? Terkadang hatiku linglung. Tetapi bukankah akulah yang merasakan segala hal yang terjadi di dalam rumah tanggaku?
Ketika tanganmu ringan melayang di pipiku, di tubuhku, di mataku atau bahkan ketika anak-anak seolah menjadi boneka yang bisa kau banting sesuka hatimu?
Mungkin hatiku bisa memaafkan kelakuanmu, tetapi akankah aku bisa menghapus rekaman film yang telah disimpan di otak anak-anak kita.
Ketika badan mereka menggigil dan memilih bersembunyi di dalam kamar ketika bayangmu nampak melangkah menuju rumah.
“Pergi..Pergi kau dari rumah ini!” ujarku penuh amarah sore itu. Ketika kau membanting Fana, sulung kita, karena menyenggol meja tamu dan menumpahkan kopi panas yang baru saja ku sajikan untukmu.
Aku tak tahu apa yang merasukimu, setiap saat dengan mudah emosimu meledak. Aku sungguh tak mengenalmu lagi. Sore itu kau meninggalkan kami dengan kilat mata yang memancarkan kemarahan. Dan aku masih mendekap Fana. Dia selalu menjadi korban kemarahanmu, tak tehitung lagi oleh jari ini. Dan Rani yang selalu menggigil menyaksikan setiap adegan ini.
3 tahun 3 bulan 23 hari terhitung sejak kau meninggalkan aku. Kini kau di hadapanku, memohon penuh maaf dariku. Namun aku hanya terdiam terpaku. Hati ini terasa sudah membeku.
#Onedayonepost
kdrt nih ceritanya mba wid. jd sedihh
ReplyDeleteNggak usah dimaafkan...
ReplyDelete