![]() |
www.pixabay.com |
“Tulisan
macam apa itu, semua orang juga bisa membuatnya?” ujar Kunkun dingin, sambil
melempar bundelan kertas ke depannku. Kemudian jemarinya sibuk memencet tombol
keyboard di ponsel. Meski suaranya menggelegar dan terdengar menyakitkan,
wajahnya tidak menyiratkan kemarahan.
“Jadi
salahnya dimana?” tanyaku pelan, takut mengganggu konsentrasinya.
“Cari
ide lain, ide dan cara penuturanmu tak akan laku kalau di kirim ke media,”
jawabnya tanpa menatapku. Jemarinya masih asyik bermain layar ponsel.
Aku
lunglai sejujurnya. Tapi Kun benar.
“Jangan
kau jadi penulis. Jika masukan dari orang lain membuatmu putus asa. Terlebih
dariku yang sudah mengenalmu belasan tahun.” Pesannya sebelum aku beringsut
meninggalkan tempat kost tempat dia bersarang selama ini.
Cambuk
yang dilontarkannya kepadaku terkadang membuat kepercayaan diriku jatuh
terurai. Bahkan lima hari setelah pertemuan dengannya, aku tidak bisa
menghasilkan satu cerpen pun. Ideku telah di bunuhnya.
Sebentar,
benarkah dia telah membunuh ideku? Tidak, ide itu tak pernah dibunuhnya. Bahkan
sejak aku belum mengenalnya, ide itu telah muncul di kepala dan beranak pinak
di sana. Hanya aku yang tidak bisa merawatnya dengan baik. Hingga ide itu
membusuk dan tak ada satupun yang mendekat bahkan hanya sekedar untuk
melihatnya.
Aku
mati kini. Tidak. Lebih tepatnya aku sekarat. Aku butuh di bawa ke ICU. Namun
siapa yang akan membawaku? Meneleponmu? Kamu sedang sibuk sekarang. Pesan dari WhatsAppmu
aku terima kemarin. Beberapa project besar telah kamu ambil. Dua buah
perusahaan dan seorang yang terkenal di negeri ini menontrak tulisanmu.
Jemariku
benar-benar lumpuh. Di tambah otakku yang sekarat. Layar monitor di depanku
hanya berkedip-kedip menatapku yang sudah lama menatapnya, dua jam. Ah aku
ingin terapi, agar aku sembuh dari kelumpuhan ini.
Kepada
siapa lagi aku harus berlari, selain kepadamu. Namun aku takut jika menunggumu
menyelesaikan project itu, aku akan benar-benar mati. Aku butuh terapi, aku
ingin bertahan, aku ingin menjadi sepertimu, Kun.
##
“Kun,
aku takut mati. Bukan, maksudku aku takut ide ku akan mati,” ujarku pada suatu
pagi ketika kami berada di puncak Gunung Bromo. Ketika Kun belum sibuk seperti
sekarang ini.
“Tak
ada ide yang akan mati. Jangankan kebahagiaan, kesedihanpun akan selalu
membawamu pada sebuah ide?”.
Aku
menatapnya takjub, ujung rambut gondrongnya menyembul dari penutup kepala yang
terbuat dari benang wool rajutan. Kedua telapak tangannya memeluk secangkir
kopi hitam kesukaannya.
“Seperti
kopi ini, Trista. Akan selalu menemaniku menemukan ide. Dan aku juga punya
cita-cita besar akan sebuah ide.”
Aku
hanya bisa menatapnya. Kunkun, sahabatku sejak SMP. Kini tulisannya telah
mewarnai berbagai media nasional dan juga Ghostwriter handal.
“Bagaimana
dengan cinta? Aku belum pernah membaca tulisanmu tentang cinta.”
Kun
kemudian tergelak, dan lirih berkata “Suatu hari nanti aku akan menulisnya. Dan
saat itu aku memang benar-benar sedang jatuh cinta. Jatuh cintanya seorang
lelaki dewasa.”
##
Aku
tergugu. Bukan menangisi diriku yang sekarat dan mengetahui jika umurku tinggal
beberapa hari. Tidak, aku belum mati. Malaikat maut belum pernah menjengukku
hanya sekedar memberitahu tanggal kematianku.
“Istirahatlah
barang sejenak Kun, dan banyak-banyak minum air putih,” jemariku yang lumpuh
menghantarkan pesan kepadanya beberapa waktu lalu.
Dan
butuh beberapa menit untuk menerima balasan darinya.
“Iya
Trista, terimakasih. Ini tinggal beberapa lembar saja selesai. Aku tidak ingin
ideku ini hilang jika aku menghentikannya sekarang.”
“Kun,
sudah dua malam kamu tidak istirahat, sudah berapa kopi kamu habiskan disana?”
jemariku tiba-tiba menguat untuk mengingatkannya dari kegilaan.
“Hahahahaha,
dua belas gelas kopi. Tenang saja, aku tidak apa-apa,” jawabnya bukan membuat
aku tenang. Dua malam berturut-turut tidak istirahat dan di temani kopi hitam
dua belas gelas? Aku benar-benar khawatir. Kebiasaannya yang gila jika dia sedang
menyelesaikan projectnya. Tiba- tiba terlintas hasil pemerikasaan lab beberapa
bulan yang lalu.
“Kun,
jaga kesehatanmu. Aku masih butuh kamu Kun. Aku sekarat sekarang.”
Kun
tak menjawab, hanya emogi smile dia kirimkan kepadaku.
Dan
kini aku terduduk di gundukan tanah merah basah. Meratapi kepergianmu. Kopi dan
ghostwriter ini telah membunuhmu, Kun.
Aku
benar-benar sekarat kini, Kun. Tanpamu lagi, sendiri. (end)
Bagus mba wid, pengen deh bisa bikon cerpen sebagus itu, membawa pembaca masuk k dalam cerita itu. Sesuatu
ReplyDeleteKunkun tokoh dengan nama yang unik
ReplyDeleteYa, selintas tadi yang muncul nama itu
DeleteKeeerrreen.... 👍
ReplyDeleteTerimakasih karhien
DeleteKasihan si Kun. :(
ReplyDeleteIni Dari kisah nyata Mb. Seorang ghostwriter yang workaholic, meninggal muda
DeleteWah. Ending yang mengejutkan!
ReplyDeleteYa Mb Heni. Nuwun dah mampir
DeleteKunkun...oh..sikopi tak baik digandrungi kun..
ReplyDeleteKunkun oh kunkun
Delete“Jangan kau jadi penulis. Jika masukan dari orang lain membuatmu putus asa. Terlebih dariku yang sudah mengenalmu belasan tahun.”
ReplyDeleteBenar Mb, nggak boleh putus asa
Deletemantap mba widd :D
ReplyDeleteTerimakasih mas tian
DeleteYah. Kunkunnya... mbak wid, keren banget idenya.
ReplyDeleteMakasih Mb vinny
DeleteKan cerita cinta blm jdi ditulis kunkun.
ReplyDeleteAku ga boleh sekarat dong mba
Hahahaha..iya mb
DeleteKeren mba, kun kun :)
ReplyDeleteMas andi, terimakasih dah setia mampir. Tadi saya klik postingan "kenangan" kok nggak bisa ya
DeleteKan cerita cinta blm jdi ditulis kunkun.
ReplyDeleteAku ga boleh sekarat dong mba
mbak wid kereeen banget iih
ReplyDeleteKita keren Mb lisa
Deletembak wid kereeen banget iih
ReplyDeletemantap bun. Endingny gak ketebak. pengenn belajar nulis kek gini
ReplyDeleteYa kah,endingnya nggak ketebak?
DeleteWaduh, kenapa endingnya si Kun meninggal gara gara kebayanyan ngopi? 😨
ReplyDeleteAsyik uncle mampir. Ini sebenarnya Dari kisah nyata kok uncle. Seorang ghostwriter yang workaholic, kalau ada project dia nggak tidur Dan temennya kopi. Jadi meninggal muda.
DeleteWaduh, kenapa endingnya si Kun meninggal gara gara kebayanyan ngopi? 😨
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir
ReplyDeleteAaaaak... ini keren. Terasa ngalir banget. Permainan alurnya juga. #Pengenmintajarin
ReplyDeleteTerimakasih Mb cici, belajar bareng yuk
DeleteTerimakasih Mb cici, belajar bareng yuk
DeleteEndingnya kok terbayang akan jadi begitu, ya... Hehehe...
ReplyDeleteNah INI komentar yang saya suka
DeleteAku baca ini kok keinget uncle ik, duh maafkan
ReplyDeletegondrongnya ingat uncle ik Ana waktu saya bikin cerpen ini...hahahahahaha
Delete