![]() |
Cerpen
karya Putu Wijaya ini dikemas dengan sederhana, namun konfliknya yang memikat
dengan ending yang membuat saya tersenyum puas. Ending yang kata kerennya
adalah “twist ending”.
Cerpen
ini bercerita tentang seorang anak bernama Taksu. Taksu adalah anak
satu-satunya dari keluarga kaya raya. Taksu mempunyai cita-cita menjadi guru. Namun
kedua orang tuanya tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa masa depan guru itu
sangat suram. Dan kedua orang tua Taksu tidak ingin melihat anaknya seperti
itu. Sengsara.
Berbagai
cara dilakukan orangtua Taksu agar dia mau mengubah cita-citanya dari seorang
guru. Dari cara menyogok Taksu dengan laptop canggih hingga mobil BMW bernilai
milyaran rupiah. Meski begitu Taksu tetap gigih mempertahankan cita-citanya
menjadi guru.
Dipuncak
kegeramannya, orang tua Taksu akhirnya mengancam untuk menghentikan pemberian
uang sekolah dan uang makan selama tiga bulan. namun Taksu tetap berdiri tegak
dan menjawab pertanyaan ayahnya bahwa dia ingin menjadi seorang guru.
Ayah
Taksu benar-benar naik pitam dan mengancam akan membunuh Taksu jika dia tetap
bercita-cita menjadi guru.
Berikut
penggalan dialog yang sangat menekankan konflik dari cerpen guru ini.
“Aku bunuh kau,
jika kamu masih saja tetap menjadi guru.”
Taksu menatap
saya.
“Apa?”
“Kalau kamu tetap
menjadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!” teriak saya kalap.
Taksu balas
memandang saya tajam.
“Bapak tidak akan
bisa membunuh saya.”
“Tidak, kenapa
tidak?”
“Sebab guru tidak
bisa di bunuh. Jasadnya mungkin bisa saja busuk, tetapi apa yang diajarkannya
akan tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi
kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati pak”
---
Banyak
dialog yang sarat makna dalam cerpen ini. Dimana Taksu memberikan alasan yang
kuat mengapa dia ingin menjadi gur. intinya dengan menjadi guru, Taksu tidak
akan pernah mati.
Diakhir
cerita, Taksu memanglah tidak menjadi guru, guru yang mengajar di suatu
sekolah. Tetapi Taksu akhirnya menjadi seorang pengusaha sukses, dan mendapat
gelar doctor honoris clausa dari sebuah perguruan negeri tertinggi.
“Ia seorang guru
bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda yang lain
yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi nusa dan bangsa, karena
jasa-jasanya menularkan etos kerja,” ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doctor
honoris causa dari sebuah perguruan tinggi negeri.
Meski
dalam cerpen ini tidak diceritakan dengan gamblang mengapa akhirnya Taksu bisa
menjadi seorang pengusaha, namun akhir cerita ini mengajarkan banyak hal. Bahwa
tidak lah harus menjadi guru, guru yang berdiri di depan kelas, dilembaga pendidikan atau yang
lainnya untuk di sebut sebagai guru.
Guru
adalah siapapun mereka yang membagi ilmunya untuk sebuah kehidupan yang lebih
baik. Dan kita semua adalah guru. Kita juga bisa disebut guru, dari secuil
tulisan kita yang memberi makna bagi orang lain. (end)
#refleksi HUT PGRI 2016
Eh, brarti klo aku nulis yg bermanfaat, aku bisa disebut guru bund? Hhii..
ReplyDeleteIya dik ci...hihihi
DeleteBelum pernah baca cerpennya. Bagus, ya mba?
ReplyDeleteBagus Mb...
DeleteSiapapun bisa menjadi guru ya, Mbak Wid. Meski bukan guru yang berdiri di depan kelas, di hadapan murid-muridnya untuk menyampaikan materi pelajaran.
ReplyDeleteSeorang Ibu pun juga menjadi guru bagi anak-anaknya.
Nice post ^-^
Terimakasih mbak nova
DeleteJadi pengen baca cerpennya.
ReplyDeleteAyok baca
Deleteguru tidak hanya disekolah, mbak juga uda jadi guru buat adik :)
ReplyDeleteReviewnya uaapikkk tenannnn mba... bikin saya pengen cepet2 baca versi aslinya ^_^
ReplyDeleteTerharu aku bacanya mbak wid
ReplyDelete