![]() |
Sumber : www.pixabay.com |
Pernah membaca cerpen berjudul nuansa
hijau karya Kurnia Effendi? Jika belum, akan saya ceritakan sedikit, mungkin
kita bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan Mas Keff dalam cerita ini.
Cerpen
nuansa hijau karya Mas Keff ini bercerita tentang kisah cinta seorang pendaki
gunung bernama Kris. Kris begitu popular di sebuah asrama mahasiswa. Kris adalah seorang pencinta alam yang
hobinya adalah mendaki gunung setiap ada kesempatan. Hampir semua mahasiswa
menyukai dia. Selain bertubuh atletis dia juga memiliki mata yang lembut yang
menawarkan kedamaian. Diantara Kris, ada teman perempuan yang juga hobinya sama
dengan Kris yaitu Rum.
Namun
ada seorang gadis bernama Vita diam-diam menyukai Kris. Namun Vita bukanlah bagian
dari pencinta alam tersebut. Vita
merupakan seorang gadis feminin yang kesukaanya adalah memasak, berkebun, merawat
anggrek angrek di kebun Wijayakusuma, pencinta anak kecil dan penerima tamu
yang baik di asrama mahasiswa Wijayakusuma. Teman-teman Vita sudah mengenal sifatnya tersebut. Hingga kemudian teman-teman Vita sering menyebutnya, “Vita
yang lembut, kamu calon ibu yang sempurna.”
Sebenarnya
Vita sangat menyukai pujian tersebut. Hingga pujian tersebut seolah mencubit
dia semenjak kehadiran Kris. Dan bagaimana hati Vita memanas setiap Kris
menyebut nama Rum, Denok dan teman perempuan yang mempunyai hobi sama dengan
Kris di depannya.
Hingga
kemudian Vita bertekad akan menunjukkan kepada Kris jika Vita bisa sekuat Rum dalam
menaklukkan gunung.
Pada
akhirnya Vita berkesempatan mengikuti perjalanan menaklukan Gunung Merbabu. Meski
Vita menyadari perubahan sikap Kris sejak nama Vita tercantum dalam peserta
pendaki gunung, namun tekad Vita untuk menunjukkan pada Kris -terutama- bahwa
Vita adalah seorang yang juga mampu menaklukkan gunung.
Vita
menyadari bahwa sesungguhnya perjalanan ini bukanlah dunianya. Vita bisa
mendapatkan kebahagiaan dalam kegiatan kesehariannya. Nuansa hijau dalam bunga-bunga
di taman yang dirawatnya.
Di
tengah perjalanan pendakian, kaki Vita kram dan akhirnya pingsan. Vita
merasakan kegagalan itu, kegagalan ketika dia ingin menunjukkan pada Kris bahwa
dia mampu menaklukan Gunung Merbabu. Di sinilah isi hati mereka terkuak, meski
Vita masih saja merasa cemburu dengan Rum, teman seperjalanan Kris yang selalu
disebut namanya.
“Kenapa gugup? Seorang petualang tidak boleh
penakut.” Matanya seperti mengejekku. Aku terperangkap siasatnya! Tapi…bukan
tak mungkin dalam hutan yang lebat ini tinggal seekor harimau.
“Aku bukan petualangI” kataku
penuh rasa kalah.
“Akhirnya kamu mengakui juga.”
Tatapannya menampilkan perasaan puas.
(Aura Negeri
Cinta, halaman 108)
Atau di percakapan berikut
“Tak bolehkah aku sesekali ikut perjalanan seperti ini?” tanyaku sengit.
Mataku mulai memanas.
“Siapa
yang melarang? Kamu boleh ikut ke Ungaran, atau yang lebih ringan. Bukan dengan
lima hari berjalan kaki begini!” tatapannya menghujam tajam. “Ingat Vita, kamu
bukan Rum!”
Tentu
saja! Jangan samakan aku dengan dia. Segalanya kalah, aku tahu itu. O, batinku
tersayat-sayat. Kini mataku benar-benar basah.
“Mengapa
kamu selalu menyakiti hatiku?” bisikku sedih.
“Apa
katamu?” ia terlonjak mendengar ucapanku. “Justru kamu yang telah menghancurkan
harapanku, seluruh angan-anganku!”
(Aura Negeri Cinta, halaman 109)
Atau coba pahami percakapan
berikut yang disampaikan Kris pada Vita
“Kamu
tidak mengerti, bagaimana seorang perempuan harus hidup sebagai perempuan. Dan kamu
akan semakin sulit mengerti, bahwa elang yang selalu mengarungi dunia luas
suatu ketika mendambakan dunia yang mungil. Sebuah sarang yang menyimpan
seluruh pengabdian cintanya….”
Begitulah garis besar cerpen nuansa
hijau karya Mas Keff. Mas Keff menurut saya selalu bisa membuat cerpen romantis
yang lembut, yang membuat pembacanya ikut berdebar-debar merasakan cinta dari
para tokoh di dalam cerita tersebut. Namun selalu pandai menyisipkan pesan
besar buat pembacanya.
Nah, Pernahkah kita jatuh cinta kepada seseorang
dan kemudian ingin menjadi seperti orang yang kita cintai, dan kemudian
mengikuti segala hobinya? Mungkin pernah ya. Sebenarnya itu hal yang sah-sah
saja. Karena hal itu adalah sebuah usaha agar kita bisa tetap eksis di depan
orang yang kita cintai.
Dan dari cerpen ini kita bisa mengambil pesan bahwa
tetap jadilah diri kita sendiri (diri sendiri dalam hal yang baik), karena mungkin
orang yang kita cintai mencintai sesuatu yang lain dalam diri kita. Mungkin mempelajari
kegemarannya, mencari ilmu dari apa yang dia gemari, itu justru itu lebih baik.
Karena bila suatu saat orang yang kita cintai itu mengajak berbincang tentang
hobinya, kita bisa menyambut perbincangannya alias nyambung.
Dari cerpen di atas kitapun dapat mengambil contoh.
Coba kita bayangkan, jika Vita dan Kris sesama pendaki gunung, kemudian ketika
mereka menikah melakukan pendakian bersama, ketika sekembalinya dari pendakian,
bukankah mereka berdua sama-sama dalam kelelahan? Bukankah lebih romantis jika
Kris saja yang mendaki gunung, ketika Kris kembali dari pendakian disambut oleh
Vita dengan segala kelembutannya sebagai istri dan wanita, disambut dengan
taman yang tetap menghijau, rumah yang rapi dan bersih, dan masakan yang lezat?
Kemudian di lain hari ketika Kris dan Vita memiliki waktu bersama, Kris akan
menceritakan perjalanananya mendaki gunung, dan Vita akan mendengarkan dengan
antusias dan seksama. Bukankah sebuah episode yang romantis dan lebih
membahagiakan? Mungkin pembaca bisa membayangkan sendiri.
Dalam kehidupan pernikahan sendiri pada kenyataanya
kita akan lebih banyak menemui pasangan yang mempunyai selera dan hobi berbeda.
Mungkin si istri hobinya menjahit, si suami hobinya menulis. Si istri sukanya
makan tahu goreng, si suami sukanya makan seafood.
Dari contoh sederhana ini, apakah mereka hidupnya bubar ditengah jalan? Tentu
sebagian besar tidak. Jikalaupun mereka berpisah (bercerai) di tengah jalan,
saya yakin alasannya bukan karena perbedaan hobi ataupun perbedaan selera
makanan. Dan justru di sinilah letak romantis dan perjuangan dalam sebuah pernikahan, ketika bisa
menyatukan dua buah perbedaan.
Ini
pendapat saya, bagaimana pendapat para pembaca? (end)
Comments
Post a Comment