![]() |
sumber : googleseach |
“Aku ingin
menyerah,” katamu dalam suatu kesunyian.
“Kenapa?” tanyaku
kemudian.
Kamu terdiam. Tidak
sanggup menjawab pertanyaan. Tepekur matamu menatap lantai keramik di areal
majid tempat kita bertemu sore itu. Ujung sepatumu beradu, merunduk dan helaan
nafas panjang cukup menggambarkan suasana hatimu.
Aku tahu kamu tidak bisa berbuat apa-apa,
selain hanya pasrah kepada Yang Maha Kuasa, atas semua rasa yang mengguncangkan
jiwamu. Akhirnya kamu hanya tergugu, kedua telapak tanganmu kamu tutupkan di
wajahmu.
Ayah dan Ibumu,
beserta seorang adikmu. Ah Ikut mengingatnyapun membuat hatiku tersayat, perih.
“Kini aku hanya
memiliki sebuah cinta,” ucapan dalam isakmu yang kudengar lirih.
“Maka tetaplah
mencintainya, bukankah cinta itu datang dari-Nya?” ucapku sambil kurengkuh
pundaknya yang ramping.
“Aku tak mengerti.”
Kamu terdiam sejenak. “Sesungguhnya apa perbedaan dari menyerah dan pasrah?”
tanyamu kemudian. Kutepuk pundakmu perlahan, mencoba meredakan kegundahan yang
jelas terdengar dari nada bicaramu.
“Eh, bukannya kita
kesini mau menikmati bakso di foodstall seberang
jalan sana,”.
“Oh iya, yuk,”
matamu kulihat berbinar. Kita bergandengan tangan menyeberang jalan menuju foodstall yang menjual bakso kesayangan.
Lima tahun sudah
kita menjalin persahabatan ini. Bergandengan tangan, bergandengan hati dalam
memperbaiki diri.
Satu hal yang tak
pernah lelah kuucapkan kepadamu ketika hatimu jatuh, “Jangan pernah berputus
asa, karena semua hal yang kamu rasa dan kamu hadapi itu adalah ujian dari-Nya.
Tetap optimis, meski apa yang kamu impikan terlihat mustahil. Apa susahnya
Allah berkata, “Kun, Fayakun”. Maka dalam sekejap, jika hal itu adalah yang
terbaik bagimu, maka akan terjadi padamu.”
Kini kita terdiam
sesaat, menikmati semangkuk bakso yang masih menguarkan asapnya. Menghangatkan hati
kita berdua. (end)
#about Friednship #persahabatan #cerita persahabatan
Comments
Post a Comment