![]() |
sumber:www.pixabay.com |
Cerpen ini
bercerita tentang seorang anak SMA yang bernama Eko, begitu marah dengan
keadaan dirinya yang miskin. Ketika setiap hari dia harus mendengar ejekan dari
teman-teman sekolahnya. Bahkan empek-empek buatan emaknya, tak lepas dari
ejekan teman-temannya. Keadaan dirinya yang masih berdarah jawa, dianggap
merasa nggak mampu untuk membuat empek-empek. Intinya satu, Eko tidak mempunyai
kelebihan. Titik. Terlebih dia harus membantu ibunya berjualan empek-empek dan
menjajakannya di sekolah.
“Eko Widianto Baharudin, namaku.
Semua orang di SMU kumbang mengenalku. Bukan prestasi yang membuatku terkenal
aku cuman anak klasemen tengah di SMU unggulan milik kota Muara Enim itu. Tidak
juga gaul atau funky yang membuatku tersohor. Aku adalah anak kuper sekaligus
gatek, yang tidak punya modal untuk itu. Aku Cuma orang desa yang naik angdes
ke kota ini. Bukan…bukan pula anak orang kaya. Hhh, meski sudah mendapat
half-scholarship. Umak masih saja banting tulang dan perasaan untuk membayar
biaya sekolahku. Itupun selalu molor…! Hal yang membuatku terkenal cuman satu:
tidak punya kelebihan.”
(Selaksa Rindu DInda, halaman
29)
Eko yang kesal
dengan segala ejekan dari teman-temannya yang mayoritas adalah anak-anak berada,
memuntahkan kekesalannya pada umak. Hingga dia tidak mau lagi berjualan
empek-empek ke sekolah. Namun, melihat kesedihan umak atas kata-katanya,
akhirnya Eko kembali bersedia berjualan empek-empek
Empek-empek umak Eko yang laris manis, membuat iri pemilik kantin sekolah. Dan ada satu lagi
musuh bebuyutan Eko yaitu Geng Dido. Hingga suatu hari Ibu kantin murka dan
memporak-porandakan empek-empek Eko. Tentunya dibantu oleh Geng Dido hingga
terjadi perkelahian. Eko mengerang kesakitan ketika akhirnya ibu kantin
mengguyur mukanya dengan kuah empek-empek.
Namun, sejak
perkelahian itu justru perlakuan Geng Dido berubah terhadap Eko. Mereka mulai
berbuat baik kepada Eko, sesekali Geng Dido bermain ke rumah Eko. Hingga pada
suatu hari Tyas (salah satu anggota Geng Dido) memuntahkan empek-empek yang dia
beli dari Eko. Katanya, terdapat ekor tikus di dalam empek-empek tersebut.
Tentu saja hal ini menggemparkan sekolah, dan Eko diancam DO oleh pihak sekolah.
Mengalami kejadian ini semua, Eko sangat murka dengan umaknya.
Setelah kejadian
tersebut, Eko tidak lagi berjualan empek-empek di sekolahnya. Eko merasa
terlepas beban batinnya. Hingga kemudian Eko teringat akan nasehat gurunya, “Dan
hendaklah kamu berbuat sebaik-baiknya terhadap ibu bapakmu”. Juga perkataan
Rio, adiknya Eko yang masih SD untuk menggantikan berjualan empek-empek di
sekolahnya.
Pada suatu siang,
Geng Dido mengaku jika merekalah yang memasukkan potongan-potongan tikus ke
dalam adonan empek-empek umak, saat umak Eko sedang berbelanja ke warung dan
saat Eko sedang sholat. Itu semua adalah
perintah ibu kantin. Dan Eko pun tersadar, jika yang telah di lakukan kepada
Umaknya adalah salah besar. Terlebih Eko meningat jika kaki umaknya, pincang.
Setelah mendengar
pengakuan Dido Geng, hari itu Eko merasa tergesa segera ingin menemui umaknya.
Namun angkutan desa terasa lambat. Sepanjang perjalanan, Eko mengingat-ingat
kejadian saat dia menuduh umaknya mencampur adonan emek-empek dengan daging
tikus. Airmata umak yang deras mengaliri jilbabnya. Atas tuduhannya tersebut
umakpun demam dan tiap malam umak mengigau, bersumpah jika tidak pernah membuat
empek empek tikus. Meski begitu, umak memaksakan diri untuk tetap berjualan pada
siang harinya. Hati eko terasa diremas-remas menanggung rasa bersalah, Eko
merasa betapa dajjal dirinya.
Ketika angkutan
desa melewati separuh perjalanan, Eko melihat kerumunan massa yang sedang
mengerubungi sesuatu, empek-empek berlumur darah dan tanah liat berceceran di
jalanan. Samar-samar juga terdengar suara tangis anak kecil. Batin eko berkata,
mungkinkah itu umaknya? Tetapi Eko teringat jika umaknya berjualan empek-empek
di depan warung Bu Rini.
Namun seketika Eko
ingat, pesan umak tadi pagi sebelum berangkat sekolah,”Ko, Umak kagok jualan keliling bae. Warong Bu Rini kurang strategis. Jadinya
kurang laku. Pamit yo.” Eko tersadar dan mengingat samar perempuan yang
tergeletak diantara empek-empek yang berlumuran darah. Seketika memanggil umaknya dengan penuh
kepiluan.
Cerpen ini bagi
saya patut diacungi jempol, pantas jika menjadi juara satu dalam Sayembara
Menulis Cerita Islam yang diadakan GIP. Tema yang biasa namun dengan gaya
kepenulisannya mampu mengobrak-abrik
perasaan pembacanya dengan akhir cerita yang tragis. Saya jadi membayangkan
jika kejaadian itu benar-benar terjadi dalam hidup saya, tentu akan sangat
menyesal jika pada akhirnya ditinggalkan ibu untuk selama-lamanya dalam keadaan
tragis dan belum sempat untuk meminta maaf.
Dan tentunya pesan
tersirat yang ingin disampaikan penulis,berbaktilah terjhadap orangtua kita
apapun keadaaanya selama dalam kebaikan. (end)
Comments
Post a Comment