![]() |
www.pinterest.com |
Aku suka berada di
sini. Menatap wajahnya dari temaram ruangan. Wajah tampannya yang tersamar oleh
chandelier. Sosok jangkung dengan
rahang keras, bermata elang. Rambut sebahu yang rapi diikat ke belakang. Jas
hitam menempel di badan, menambah kesan dia seorang yag susah untuk ditaklukkan.
Orang-orang sedang
berdansa di tengah ruangan. Alunan musik lembut mengiringi. Ingin kumendekatinya,
mengulurkan tangan dan mengajaknya ke tengah ruangan, berdansa bersama. Kaki kita
bergoyang, ke kanan dan ke kiri. Tangan kita saling memeluk di pinggang. Tatap matanya
membuat desiran di hatiku yang tak akan kunjung padam. Seperti cahaya chandelier yang abadi, menatap kita dari
kejauhan, iri.
“Aku tak akan
pernah melepaskanmu, Wina?” bisiknya di telingaku. Aku hanya tersenyum, menikmati
alunan syahdu musik dansa. Hatiku melambung saat dia mengucapkan itu. Malam itu
kita habiskan di bawah cahaya temaram chandelier.
***
Kubanting tubuhku
diatas kasur. Rasa kesal memenuhi jiwaku. Ingin kuteriak, tetapi rasanya
sia-sia. Cinta ini seperti mencekikku. Wajahnya yang tampan tak mampu menghapus
kejengkelanku. Memang sosoknya sangat kupuja, tetapi rasa possesivenya yang berlebihan membuatku mati kutu.
“Ryan, aku ada
janji dengan pelanggan. Tidak bisa kamu melarangku untuk tidak pergi,” ucapku
beberapa waktu yang lalu, ketika dia tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu
rumahku.
Matanya menatapku
tajam, mengisyaratkan kata jangan diiringi raut kemarahan.
“Pelanggan yang
mana? Jaco? Tidak, kamu tidak kuijinkan pergi,” ujarnya dingin.
“Ryan, tidak bisa
begitu. Malam ini penentuan tender
itu. Jika aku tidak datang, tentu tender
ini tidak akan jatuh ke perusahaanku,” ujarku mencoba menjelaskan.
“Tidak, kecuali
aku ikut denganmu,” nada suaranya terdengar memerintah.
Tak ada yang bisa
kulakukan selain mengangguk, terpaksa. Langkah kakiku menghentak penuh
kekesalan. Sepanjang jalan aku terdiam. Dan itu juga tidak mengubah pendiriannya
untuk selalu menemaniku kamanapun aku pergi. Apapun kegiatanku.
Sejak aku
bersamanya, hidupku terasa sempit, tidak bisa bernafas, tercekik. Kata-katanya
telah memenjarakanku. Dia telah mengacaukan pertemuanku dengan Jaco. Dan malam ini
dia telah menghancurkan bisnisku.
Aku teringat
kata-katanya sebelum dia meninggalkan pintu rumahku,”Kamu tidak bisa lepas
dariku Wina, kemanapun kamu pergi, aku akan bisa menemukanmu.” Ujarnya dengan
nada sungguh-sunguh dan sorot matanya yang setajam elang.
***
Malam ini telah
kupersiapkan segalanya. Chandelier
dengan nyala temaram menghias ruang tamu.
Chandelier yang telah terpasang dua hari lalu. Jamuan makan malam dengan
nyala lilin di tengah meja kecil bundar di ruang makan. Gaun hitam dengan
lengan terbuka telah kupersiapkan menyambutnya.
Pintu terdengar
diketuk dari luar. Aku bergegas menujunya. Dia begitu tampan, ketampanan yang
kukagumi, namun tidak boleh menggoyahkan niatku malam ini.
Kugiring tangannya
menuju ruang makan, kita terdiam menikmati jamuan makan malam di bawah redup
cahaya lilin. Dia mengusap bibirnya setelah tegukan terakhir pertanda santap
malam telah usai. Kulihat bibirnya tersenyum menatapku.
Kuulurkan tanganku
membawanya menuju cahaya temaram chandelier.
Musik Walt A Minor yag dimainkan oleh Chopin mengalun merdu mengiringi gerak
kaki kami. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Malam semakin menjelang.
Matanya terpejam,
kedua tangannya melingkar di pinggangku. Tangan kananku masuk ke saku gaun
panjang yang kukenakan, tangan kiriku melepas kancing kemejanya perlahan. Kepalaku
mendongak menatap matanya yang masih terpejam, menikmati alunan musik Chopin
kesukaannya.
“Maafkan aku Ryan,”
bisik hatiku. Ketika kemudian matanya membelalak diiringi lolong kesakitan. Tubuhnya
ambruk. Aku menyeringai penuh kepuasan. Alunan musik chopin mengalun merdu
menemaniku menghabiskan malam, malam kemenangan. (end)
Comments
Post a Comment