![]() |
Source: www.ayeey.com |
Terpaku, di depan
layar empat belas inchi di depanku. Jemari ingin merangkai sesuatu, kepadamu
yang telah purba namun terkadang masih menjajah hatiku. Surat ini untukmu.
Kepadamu
yang sedang mengepakkan sayapnya di angkasa
Sudahlah,
Selesai
sudah. Sebuah rasa yang purba, masih melekat di dalam jiwa. Menghadirkan getaran-getaran
yang berbeda, menghasilkan slide film yang memutar kenangan lama.
Namun,
ketika aku berkata, “Sudahlah”, semuanya tidak benar-benar selesai. Ketika musik
mendendangkan lagu lama, bercengkerama dengan siang, malam dan senja yang sudah
menua. Mereka saling bercerita tentang kisah yang sama. Diulang-ulang tetapi
tidak pernah mendatangkan rasa bosan.
Duapuluhtahun
lebih lamanya. Ingatkah kamu akan aku, gadis kecil yang dulu masih malu-malu
menatapmu? Perasaan yang kita pantulkan, mengalir begitu saja. Ada bahagia
dalam diam, ada ikatan batin yang tidak bisa kita ungkapkan. Senyum, bahagia
dan isyarat hati dari kedua sorot matamu yang tak pernah dusta.
Kita
sama-sama saling mengepakkan sayap ke angkasa. Mencari dunia yang kita pikir
akan membahagiakan kita. Kotak pos dan ruangan wartel seukuran 2 x 1, saksi
bisu saat kita saling mengabarkan dunia yang kita pijak.
Kita
tak pernah ada janji. Tentang masa depan? Biarlah, tak akan ada yang tahu
pasti. Saat itu yang kita tahu hanyalah kaki dan hati kita menjalani sepotong
episode. Takdir akhir, Tuhan yang tahu pasti. Meski terkadang, aku ingin
mengatakan tentang mimpiku kepadamu. Aku terkadang butuh sepotong sore yang
tenang, angin sepoi yang membelai kulit kita lembut perlahan, menerbangkan
ujung rambut kita yang kehitaman, dan mendengar helaan nafas dari pucuk-pucuk
ilalang. Kita menikmati senja yang memerah, senja yang menandakan mentari
kelelahan dan hendak kembali ke peraduan. Kita duduk di tepian saung, di antara
padi-padi di sawah yang telah rimbun dan menguning. Merencanakan tentang
kebahagiaan hidup kita. Namun, mimpi itu kini hanya menjadi sebuah prasasti
indah yang menjadi salah satu koleksi kenangan tentangmu.
Duapuluh
tahun lebih berlalu, tahukah kamu? Jika kamu masih tetap remaja di hatiku, meski
kini usia kita telah menua. Kamu menempati sebuah ruang yang bersih yang hanya
berisi tentangmu. Ruang itu kukunci. Namun, sesekali tanganku memutarnya untuk
sekedar menengokmu, menatap prasasti-prasasti kenangan yang melebarkan
lengkungan dibibirku. Aku yang berdosa, bahkan mengingatmupun mungkin…adalah sebuah
dosa. Namun, siapa yang bisa menghapus kenangan dari dalam ingatan? Jikalaupun bisa,
aku ingin amnesia dari segala hal tentangmu.
Aku
mungkin yang salah, yang hanya beranjak setapak. Tak pernah jauh
meninggalkanmu. Namun tak perlu kamu pikirkan itu. Aku sudah terbiasa dengan
semua ini. Aku tidak apa-apa. Hanya seorang gadis kecil yang kini sudah menua
sedang bermain-main diruangan terkunci tempatmu berada. Tuhan sudah mengajariku
dengan baik, meneguhkan hatiku, mengguyuriku dengan kesenangan lain. Dan aku
tahu, waktu punya caranya sendiri untuk melewatkan segala ini.
Sudahlah…mengepaklah
ke belahan dunia yang kamu suka. Karena aku tahu, sejauh sayapmu mengepak, kamu
akan kembali ke sangkar emas yang telah kamu bangun dengan dia, sosok yang kamu
cinta.
Maka
sudahlah….
Jemariku berhenti.
Cukup sudah, surat ini untukmu. Meski hatiku berkata, surat ini tidak akan
pernah sampai di hadapanmu. Karena kamu bukanlah siapa-siapa, hanya sebuah
sosok yang menjadi tokoh dalam setiap ceritaku. Maka surat ini pun tak akan
pernah sampai di hadapanmu. Ya…tak akan pernah sampai. (end)
#tantangan menulis
cinta pertama
#Cinta pertama #Kenangan
Comments
Post a Comment