![]() |
sumber: www.matasiswa.com |
“Hahahaha…dasar
perempuan tua bodoh,” ulat hijau tertawa terbahak-ahak melihat seorang wanita
setengah baya -yang dikatakannya tua- sedang termenung di sebuah taman kota.
“Eh…kenapa
menertawakannya?” sahut kupu-kupu yang sedang hinggap di bunga aster yang tak
jauh dari ulat yang sedang tertawa.
“Aku tertawa
karena karena perempuan itu bodoh, masih saja mengharap pada manusia. Manusia
yang sering melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri,” ucap ulat sambil
menikmati daun bunga aster.
“Memangnya kamu
tahu, apa yang terjadi pada perempuan itu?” tanya kupu-kupu lagi
“Hei kupu-kupu,
coba kamu dengarkan suara hatinya dengan mata hatimu. Tidakkah kamu dengar
rintihan hatinya?” ujar ulat dengan sedikit pongah.
Kupu-kupu terdiam
seksama, mencoba berkonsentrasi. Dilepaskannya sungut pencecap madu dari bunga
aster. Sebuah bisikan halus terdengar olehnya. “Sungguh malang,” ujarnya
kemudian.
“Benar bukan?
Sia-sia saja perempuan itu mengharap pada manusia,” suara ulat terdengar
sedikit kesal. Ulat dan kupu-kupu kemudian terdiam, menikmati santapannya
masing-masing.
Seorang wanita
setengah baya duduk termenung. Setiap senja, dia menyendiri di taman kota. Wajahnya
terlihatmuram, tak ada hal yang diinginkannya kecuali hatinya segera pulih dan
kembali berseri seperti biasa.
Sudah berhari-hari
dia tidak menghasilkan satupun tulisan. Dia mengerti, semuanya karena hatinya
sedang berduka, tertutup awan hitam. Dia tidak bisa melihat dunia dengan
jernih, dunia yang bisa menjadi sebuah cerita jika jemarinya sudah bergerak lincah
di depan leptop.
Semua kini
dijauhkan darinya. Setiap kata-kata yang sudah terangkai di dalam benaknya,
selalu berakhir tidak sempurna. Dia selalu bertanya-tanya pada diri sendiri,
apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya?
Hingga kemudian,
dia menemukan alasannya. Setelah dua minggu senja yang dilewatinya di Taman
kota ini. Yang diperlukannya kini hanya memulihkan hati. Dia tersenyum, dia
mengerti kini. Ketika semua berjalan tak sama dengan yang diinginkannya, dia hanya
perlu bersabar. Ketika usahanya untuk mengingatkan sudah dilakukan, dia harus
mengerti bahwa semuanya tetap Alloh yang menentukan. Hati manusia bukan dia
yang memiliki.
Perempuan itu
menghela nafas panjang, seiring senja yang tenggelam. Ketika adzan magrib
terdengar dari masjid di seberang jalan. Langkahnya menapak perlahan, kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian. Dia ingin bersujud yang panjang,
mengharap awan hitam di hatinya segera hilang.
***
Perempuan itu
masih sama, datang disetiap senja. Sebuah buku terpampang di hadapannya.
Kupu-kupu mendekat perlahan di atas kelopak bunga aster di belakang kursi
taman. Ulat tertidur, satu tangkai daun telah berhasil dihabiskannya.
“Ulat, tak kamu
dengar lagikah kesedihan di hati perempuan itu?” kupu-kupu bertanya
“Hmmm…” ulat masih
bergeming, hanya memicingkan mata, melirik kupu-kupu yang bertengger di atas
kelopak aster dengan kepakkan sayapnya.
“Ulat, bangunlah!
Mari kita berbincang dengan perempuan itu. Mungkin kita bisa sedikit tahu akan
apa yang dirisaukannya.” Ulat menggeliat, ada rasa malas dari hatinya. Namun
ulatpun ingin tahu apa yang terjadi pada manusia. Terkadang ulat hanya membaca
berita dari koran yang dibiarkan tergeletak begitu saja di taman ini. Tak
banyak yang dia tahu akan manusia. Yang dia tahu manusia mudah sekali membunuh
bangsanya. Manusia hanya ingat, jika bangsa ulat mempunyai efek buruk bagi
tubuh mereka. Padahal, ulat hanya tahu begitulah mereka diciptakan. Manusia
sering lupa jika bangsa ulat kelak akan menjadi seekor kupu-kupu yang sering
mereka puja keindahannya.
Perempuan itu
sedikit terkejut, kupu-kupu berwana kuning hinggap di atas bukunya. Perempuan
itu menatapnya dengan seksama, bibirnya mengucapkan keagungan kepada Sang
Pencipta akan keindahan kupu-kupu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara. Sebuah
suara samar, perlahan setelahnya suara itu mulai terdengar jelas. Dia menoleh,
seolah ingin mencari kepastian adakah seseorang yang mengajaknya bicara. Namun
taman itu sepi, hanya terlihat sepasang muda-mudi yang duduk di tepi kolam yang
jauh darinya. Kini perempuan itu yakin, kupu-kupulah yang mengajaknya
berbicara.
“Masihkah kamu
bersedih, perempuan cantik. Apa yang kamu risaukan?” Perempuan itu menggeleng,
senyum tipis terlukis di bibirnya.
“Kupu-kupu, aku
ingin bercerita kepadamu. Negeriku, ah terlalu luas untuk sebuah perumpamaan.
Keluarga kecilku, mereka sering melanggar peraturan yang dibuatnya sendri,
peraturan yang telah disepakati. Aku terus berpikir alasannya kenapa. Dan aku
telah menemukan kemungkinan jawabannya, kemarin sore. Bahwa mungkin karena
peraturan itu yang membuat manusia, maka mudah untuk di ingkari. Jika peraturan
dari Tuhanpun sering mereka langgar. Apalagi peraturan yang dibuat manusia?
Betapa hal kecil dari komitmen itu sering mereka abaikan.”
Perempuan itu
menghela nafas. Kemudian melanjutkan bicaranya. “Mungkin di negeri Kupu-Kupu,
hidup kalian sesuai aturan ya?” Kupu-kupu hanya mengangguk. Ulat hanya menatap
mereka bicara. Tidak ada lagi hasrat untuk bertanya. Perempuan itu telah
menemukan jawabannya. Kupu-kupu bergegas terbang, mencari tempat
peristirahatan. Senja telah menjelang. Ulatpun perlahan naik ke daun yang
menempel di bagian belakang bangku taman. Mereka sama-sama terdiam, menikmati senja
yang semakin hilang berganti malam menjelang. (end)
Comments
Post a Comment