![]() |
sumber : azegem.blogspot.co.id |
Wajahku penuh kebahagiaan, melihat si sulung naik ke panggung
kehormatan. Piala olimpiade matematika di tangannnya. Dalam hatiku bergemuruh
dan bersorak bahagia. Tidak hanya si sulung saja, kedelapan anakku memang
istimewa. Piala berjejer rapi di salah satu lemari di ruang tamu rumahku. Setiap
tahun bertambah, piala berjejer indah. Tamu yang datang ke rumah selalu
berdecak kagum.
Kini, satu persatu mereka telah meninggalkan rumah. Menempati kursi-kursi
posisi teratas di beberapa perusahaan swata dan kursi-kursi tertinggi di kantor
pemerintah. Tak ada yang lebih bahagia mengantar mereka menjadi manusia
berhasil. Kutatap foto keluarga yang terpajang megah di dinding rumah.
Masa pensiunku kuhabiskan dengan penuh kepuasan. Menghabiskan waktu
sambil sesekali bercocok tanam di kebun belakang rumah yang tidak begitu luas. Sesekali
aku mengikuti pengajian di Masjid Agung yang tak begitu jauh dari rumah.
Pagi itu, Ustadz ternama di nusantara di undang mengisi kajian di
Masjid Agung. Aku dan istri gegap gempita menyiapkan diri menjadi salah satu
peserta kajian. Luapan manusia yang ingin mendengarkan tausiahnya memenuhi
halaman dan jalanan menuju masjid.
Satu yang aku terlupa dan membuatku gelisah setelah mendengar tausiyahnya.
Satu persatu kutelepon anakku, mengharap berkumpul di rumah. Ada wasiat
yang ingin ku sampaikan. Semoga masih ada waktu.
Waktu berlalu, anak-anakku tenggelam dalam kesibukan. Terlupa oleh janji
untuk kembali sesaat mendengarkan wasiatku. Aku semakin gelisah dan tak
berdaya.
Pagi itu, sopir taksi mengantarkanku ke bandara. Ingin kuwasiatkan
secara langsung kepada si sulung agar menyampaikan pada adik-adiknya. Wasiat
yang begitu berharga. Namun, di belokan jalan mobil biru taksi terpental jauh
di terjang truk dari arah yang tak di duga. Aku di dalamnya, meregang nyawa.
***
Dimanakah
mereka?
Wasiat yang terlambat ku ucap. Aku ingin mereka yang membelai tubuhku
dengan guyuran air dingin, sebelum aku di semayamkan yang terakhir. Dengan rapalan
doa-doa yang meringankan tubuhku dari panasnya hawa dunia yang sudah kurasa? Mungkinkah
ini hawa neraka? Namun, di manakah mereka?
Aku ingin melihat mereka di bagian terdepan shaft ini. Aku ingin si
sulung yang menjadi imam sholat ini. aku ingin ke delapan anakku berjajar rapi,
mendoakanku agar lebih lapang jalanku menuju peristirahatan terakhir. Dimanakah
mereka?
Tak ada guna airmata kalian. Ingin kuteriakkan kalimat itu, agar kalian
mengerti. Saat-saat terakhir begini yang aku butuhkan hanyalah doa dan
perawatan kalian.
Namun, semuanya hanya bisa kusesali. Ketika kalian hanya kujejali ilmu
dunia. Ah, andai kubisa kembali ke dunia. Andai aku diberikan waktu sedikit
lagi saja oleh Tuhan, akan kuwasiatan sebuah wasiat agung untuk kalian,
anak-anakku, “Mandikan dan sholatkan aku ketika tiada.” Itu saja.
Batam, 20 Maret 2017
Comments
Post a Comment