![]() |
source : www.vemale.com |
“Kamu ini memang
gila. Mencintai lelaki yang kerjaannya merangkai kata. Apa yang kamu harapkan
darinya? Seonggok piring berisi puisi? Atau sekotak kado kejutan berisi buku?
Kamu harusnya bisa membuka mata, bukan hanya matamu. Tetapi, juga mata hatimu. Tak
akan kenyang kamu dijejali dengan puisi dan cerpen dari lelaki itu.”
“Dia memang
perempuan gila. Mencintai lelaki yang kerjaannya merangkai kata. Tak tahu apa
yang dia harapkan dari lelaki yang di cintainya. Lelaki yang mungkin hanya akan
menyajikan seonggok piring berisi puisi, atau sekotak kejutan berisi buku tak
berharga. Dia tak pernah tahu jika puisi dan buku tak akan menghilangkan lapar
dari perutnya.”
“Aku memang gila.
Bagaimana bisa aku mencintai lelaki yang kerjaannya hanya merangkai kata. Aku
tak tahu apa yang aku harapkan darinya. Apakah seuntai puisi yang sering
membuat debar hatiku merona? Ataukah mungkin sebungkus kado kejutan yang berisi
buku-buku yang telah dibacanya? Aku tak tahu, yang aku tahu aku mencintainya. Aku
juga menyukai tulisannya. Meski aku tak tahu mungkin puisi dan tulisan tak lagi
laku dijual ke media masa, apalagi tulisan lelakiku bukan tentang cinta. Tulisannya
tentang kritikan pada dunia yang dipijaknya.”
“Dia berkata jika
lelakinya hanya memiliki mimpi sederhana. Bukan mimpi mengubah dunia. Bukan
mimpi menjadi kaya raya karena tulisannya. Dia memang sudah buta. Selalu terbuai
oleh kata-kata lelaki yang katanya memiliki mimpi sederhana. Bullshit, dia tidak sadar jika dia hanya
tepedaya oleh rasa cinta. Tengoklah, lelakinya yang lebih banyak tenggelam
dalam dua dunia, dunia buku dan kata-kata. Mari kita lihat saja.”
“Kamu berkata jika
lelakimu hanya memiliki mimpi sederhana. Bukan mimpi mengubah dunia. Bukan juga
bermimpi menjadi kaya-raya karena tulisannya. Kamu sepertinya sudah buta. Selalu
terbuai dengan kata-kata lelakimu yang katanya memiliki mimpi sederhana.
Omongkosong, kamu hanya tepedaya oleh rasa cinta. Lihatlah, lelakimu yang hanya
tenggelam dalam dua dunia, dunia buku dan kata-kata. Kan kulihat kamu bersorak
gembira karena kekukuhanmu mencintai lelaki perangkai kata.”
“Hari ini matamu
berurai airmata. Bukan karena duka, kamu berkata jika semuanya karena rasa haru
yang membuncah jiwa. Katamu seseorang bercerita. Kemudian, katamu seseorang
lagi bercerita. Kemudian lagi, katamu seseorang lagi bercerita. Bercerita. Bercerita
dan bercerita pada setiap perjumpaan denganmu. Seolah perjumpaan itu ingin bercerita
dan menunjukkan keajaiban dari tulisan lelakimu. Bahwa mungkin lelakimu tak
bisa mengubah dunia. Namun, tulisan lelakimu bisa mengubah orang yang telah
membacanya. Dalam hatimu ingin berkata,
jika kamu adalah kekasih dari penulis cerita yang mereka baca.”
“Dia berurai
airmata. Hahahaha...dia terluka? Tunggu dulu. Dia tidak berduka. Dia hanya
merasa haru. Tulisan lelakinya ternyata memang tidak mengubah dunia. Tapi dia
telah dipertemukan dengan para pembaca tulisan lelakinya. Dia mendengar cerita.
Cerita satu lagi dari orang lain yang berbeda. Kemudian, cerita satu lagi dari
orang lain yang berbeda. Begitu seterusnya pada setiap perjumpaan. Dia begitu
merasa bahagia, lelakinya memang tidak mengubah dunia. Tapi tulisan lelakinya
telah mengubah orang-orang yang telah membacanya. Hatinya ingin berteriak kepada mereka,
jika dia adalah kekasih dari penulis tulisan yang dibacanya.
“Airmata luruh dipipiku,
bagaimana tidak terharu? Hari ini, aku dipertemukan dengan pembaca tulisan
lelakiku. Dalam gerbong kereta, dalam bus kota. Di halte dan peron tempat aku
duduk menunggu. Mereka bercerita. Bercerita
dan bercerita lagi. Seolah dalam pada setiap perjumpaan ini ingin menceritakan keajaiban
dari tulisan lelakiku yang sederhana. Memang tak mengubah dunia. Tetapi telah
mengubah cara pandang dan gaya hidup para pembacanya. Aku ingin berkata bahwa
akulah kekasih dari penulis cerita yang mereka baca. Kini lirih kubisikan,
semoga hati lelakiku mendengar,”Lelakiku, aku tetap mencintaimu. Semoga kita
dipersatukan, selamanya, oleh-Nya.”
(end)
Comments
Post a Comment