![]() |
sumber: www.pixabay.com |
Aku ingin terbang,
mengitari bumi. Dengan begini, sayapku akan semakin kuat dan aku bisa terbang
lebih jauh dari yang biasa ku tempuh.
Angin sejuk
semilir. Kucoba kepakkan sayap. Tetapi…oh tidak. Sayap kananku patah. Tubuhku lunglai,
perih hati ini. Kuraih sayapku perlahan. Mataku yang nanar menatap sayap yang patah. Apa yang harus kulakukan? Kini aku hanya bisa terdiam, menatap awan
yang melambaikan tangannya, memanggilku untuk bersamanya terbang ke awang-awang.
***
Aku berjalan terseok. Sayap patah di tangan kananku, kuseret perlahan. Sudah beberapa kilometer jarak
kutempuh. Namun, aku tidak menemukan apa yang kucari. Aku juga tidak menemui
seorangpun yang bisa kutanyai, padahal biasanya jalan ini ramai tak pernah
sepi.
Kuseka peluh yang
menjalar di wajahku, dalam hati aku bertanya pada diri sendiri, “Berapa lama
lagi jarak yang harus kutempuh?”
Aku berhenti dan
duduk di sebuah halte bus yang sepi. Benar-benar sepi, tdak ada yang lalu
lalang sama sekali. Namun, aku harus menemukan apa yang kucari.
Aku kembali
menyusuri jalanan sepi ini. Tiba-tiba
seorang kakek tua menyapaku dan bertanya,”Mau kemana nak?”.
Aku terkejut,
kemudian menoleh menatapnya. Mengapa kakek ini tiba-tiba bisa ada di sini?
Meskipun hatiku bertanya-tanya, namun ku jawab juga pertanyaan kakek tua ini, berharap dia memberikan petunjuk.
“Kakek, dapatkah
kamu tunjukkan tempat di mana aku bisa memperbaiki sayapku yang patah ini? Aku
ingin bisa terbang tinggi lagi.”
Kakek tua itu
memperhatikanku dengan seksama, kemudian mendekat. Tangannya meraba sayapku
dengan lembut. Kepalanya menggeleng. Wajahnya menyiratkan keheranan.
“Sayapmu tidak
patah. Sayapmu masih baik. Seharusnya kamu masih bisa terbang.”
“Tidak kakek,
sayapku patah. Tengoklah ini kek, aku kehilangan kekuatan. Aku tidak bisa
terbang”. Kujawab pertanyaan kakek sambil menunjukkan sayap yang kupegang di tangan
kananku.
“Lihatkan kakek,
aku tidak bisa terbang. Meski sayapku sudah kucoba kepakkan.”
“Tidak Nak, kamu
tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja.”
Aku terdiam. Demi
menghormati si kakek, aku mengucapkan terima kasih dan kemudian melanjutkan
perjalanan. Dalam hati aku berjanji, aku akan mempercayai perkataan kakek jika
ada dua orang lagi yang kutemui dan mengucapkan hal yang sama.
Beberapa langkah kemudian, dari kejauhan
kulihat dua orang berjalan kearahku. Kupersiapkan pertanyaan yang sama, seperti
yang kutanyakan kepada kakek tadi. Dua orang lelaki yang terlihat berbeda usia Satu orang berkulit
legam, umur sekitar duapuluhlimaan, dengan rambut tipis, badannya kurus
menjulang. Di sampingnya seorang lelaki tua, rambut beruban, tubuhnya tambun dengan tinggi lebih
rendah beberapa centi dari lelaki kurus tadi.
“Maaf, apakah
kalian bisa menunjukkan kepadaku di mana tempat aku bisa memperbaiki sayapku
yang patah ini? Aku ingin terbang lagi.”
“Sayap patah?”
tanya mereka serempak. Wajah mereka penuh keheranan, bibir mereka melongo membentuk
huruf o.
“Iya, ini sayapku.”
Aku menjawab sambil mengulurkan sayap yang ku pegang.
Mereka masih
keheranan. Kemudian tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian bapak
tua menjawab,”Silahkan berjalan lurus kurang lebih duaratus meter. Kemudian beloklah
kiri. Di sanalah kamu bisa temukan sebuah bangunan megah. Di dalamnya kamu
mungkin bisa menemukan seseorang yang bisa memperbaiki sayapmu yang patah.”
Mendengar jawaban
pak tua, aku mulai begitu bersemangat. Langkah kaki kupercepat. Setelah kakiku
berbelok kiri, kulihat sebuah bangunan megah tak jauh di depanku. Aku ingin
berlari agar sayapku segera bisa di perbaiki. Namun ternyata aku tak mampu. Aku masih terseok menuju bangunan megah itu.
Di dalamnya sunyi, tak
ada yang bisa ku temui. Kusandarkan punggungku di tembok yang menjulang tinggi.
Angin sepoi-sepoi mengayunkan tubuh pohon bambu yang tumbuh di samping halaman
bangunan gedung dan membelai wajahku lembut. Mataku mulai terasa berat. Nikmat sekali
rasanya ketika tubuh lelah kemudian dibelai angin sejuk sepoi.
Seorang lelaki tua
bersurban putih, berbaju putih, jenggot panjang menggantung di dagunya, mendekat
kepadaku. Tersenyum lembut dan bertanya padaku,”Apa yang kamu butuhkan nak? Hingga
jauh-jauh terseok mendatangi tempat ini?”
“Aku ingin
memperbaiki sayap ini kek, aku ingin terbang,” jawabku penuh harap menatapnya.
Wajahnya yang
lembut menatapku, kemudian dia berkata,”Nak sayapmu baik-baik saja. Kamu hanya
perlu meyakinkan hatimu jika kamu bisa melakukan semuanya. Kamu bisa terbang
meraih mimpi, terbang setinggi langit. Kamu mampu melakukan itu. Sayapmu baik-baik
saja. Sayapmu baik-baik saja. Kamu hanya perlu semangat, semangat dan semangat.
Bangkit Nak. Ada Tuhan selalu di sisimu. Jangan putus asa. Bangkitlah.” Dia mengusap
wajahku sebelum beranjak pergi.
Aku terperanjat. Kupandang
sekeliling. tak kutemukan kakek tua dengan surban putihnya. kuusap mukaku perlahan. Di depanku ramai orang berdatangan memasuki ruang utama. Kudengar lantunan
nada yang indah, sebuah panggilan. Hatiku bergetar hebat. Airmataku meleleh.
Hatiku menggigil. Sayapku
tak pernah patah, aku tidak kehilangan sayapku. Jalanan yang tak pernah sunyi.
Namun, hatiku yang menutup diri. Aku bisa…aku bisa…aku bisa…aku bisa terbang
dan meraih semuanya. Mimpiku. (end)
Comments
Post a Comment