![]() |
www.romeltea.com |
Bagaimana aku tidak
bangga padanya. Dia seorang penulis ternama. Tidak terlalu ternama sih. Namun,
paling tidak teman-teman facebooknya mengenal dia sebagai penulis karena
beberapa karyanya sudah sering dimuat di media massa ternama di negeri ini.
Kopi hitam kuseduh
untuknya, sebelum aku meninggalkan rumah untuk mengajar di salah satu Sekolah Dasar swasta. Dibubuhi dengan senyum manis dan cinta tulus dariku, aku berharap
idenya selalu mengalir lancar. Setelah menyesap kopi, langkah tegapnya menuju
honda beat merah, menekan tombol starter kemudian aku naik di atasnya. Dalam diam
dia mengantarkanku hingga depan gerbang sekolah, perjalanan yang menempuh waktu
hanya limabelas menit. Dia sering berkata jika ide
selalu bisa datang darimana saja, maka aku tidak pernah mengganggu
konsentrasinya, siapa tahu dalam perjalanananya mengantarkanku ke sekolah dia
menemukan ide untuk dijadikan bahan cerita.
Hal itu pernah aku
sampaikan padanya di suatu hari. Ketika aku heran, hidupnya yang hanya berkisar rumah-komunitas sastra yang dia ikuti-sekolah dan rumah lagi, tetapi idenya selalu lancar
dan mampu menghasilkan pundi-pundi uang yang bisa kami tabung untuk masa
depan.
“Tidak perlu harus
jalan-jalan keluar negeri, atau keliling nusantara. Kita bisa dapat ide dari
mana saja. Ketika aku mengantarmu ke sekolah, lebih sering aku mendapatkan ide
dari sana.” Ujarnya dengan tenang sambil di hirupnya kopi untuk gelas yang
entah ke berapa.
“Tapi kalau bisa
jalan-jalan melanglang buana mungkin itu lebih baik. Namun, jika belum mampu, ya
kita gunakan buku dan internet saja untuk melihat dunia,” ujaranya lagi.
Aku hanya
mengangguk-angguk mencoba mengerti. Memang beberapa tulisan dia yang judulnya
sederhana dan telah dimuat di beberapa media nasional, aku rasa berasal dari
sepanjang perjalanan rumah-sekolah tempatku mengajar - rumah. Seminggu yang
lalu sebuah cerpennya yang berjudul Ketika Cicak Bisa Berkata-kata, yang
menceritakan betapa mirisnya model dan keadaan pendidikan di negeri ini di muat
di media masa nasional dengan honor satu setengah juta. Separuh dari gaji
bulananku menjadi guru swasta. Maka dari itu aku menghargai keputusannya untuk
berkarir di dunia kepenulisan. Penulis lepas yang tidak terikat dengan kontrak
kerja untuk menuliskan sebuah ide pesanan.
Beberapa tulisannya
yang lain, meski aku tidak sempat membaca semuanya, selalu bertema kritikan
sosial. Dia selalu piawai dalam menceritakan jalan cerita. Aku selalu
menyukai tulisannya yang dia ceritakan dengan diksi yang mudah dipahami, alur
cerita yang memikat, konflik yang mengoyak-ngoyak perasaan, dan ending yang
selalu susah ditebak.
“Siapa Lila, Mas?”
tanyaku akhirnya penuh rasa ingin tahu.
“Dia bukan
siapa-siapa. Hanya tokoh rekaanku saja. Coba baca dengan seksama!” ujarnya
tenang tapi tidak dengan hatiku yang semakin membara dibakar rasa cemburu oleh
tokoh yang bernama Lila. Siapa dia? Kucoba membaca satu cerita yang
disodorkannya padaku, tema utama dalam ceritanya masih sama, tentang kritik
sosial namun tokoh Lila begitu hidup dengan cerita asmaranya, tokoh Lila yang
digambarkan begitu manis dan cerdas.
Kutinggalkan dia
dengan penuh kesal. Aku harus menemukan siapa itu Lila. Tidak mungkin dia
mengarang begitu saja. Pasti ada sosok Lila yang asli, yang kemudian dia
refleksikan sebagai tokoh utama.
***
“Dik, aku ke
komunitas dulu. Katanya ada kabar gembira untukku.” Pamitnya padaku pada suatu
pagi di hari minggu. Aku hanya mengangguk, menekuri setrikaan baju yang
menumpuk. Menyelesaikan pekerjaan rumah adalah salah satu caraku menghilangkan
rasa amarah karena diamuk cemburu.
Kepergiannya semakin
membuat cemburuku menggunung. Apakah dia akan menemui perempuan itu? Perempuan yang
menjadi inspirasi dari tokoh utamanya? Kubuka leptop hitam miliknya. Dengan mudah
aku mencari folder tempat dia menyimpan tulisan-tulisan tentang Lila. Satu tombol
bisa mengakhiri segalanya.
Aku kembali ke
tumpukan setrika. Ketika beberapa jam kemudian, saat aku sednag membaringkan
tubuhku di atas sofa empuk sambil menonton FTV kesukaanku, dia datang dengan
wajah riang gembira. Duduk disampingku meski aku tetap bergeming.
“Dik, tahukah kabar
gembira yang kubilang tadi?” ujarnya riang. Aku hanya menatap wajahnya tak
mengerti.
“Tulisan-tulisanku
yang bertokoh utama Lila akan dibukukan Dik, oleh penerbit ternama di negeri
ini. Tahukan Dik, kalau Lila itu adalah kamu. Aku terinspirasi olehmu. Dan
aku sangat bangga karena penerbit mayor ternama di negeri ini tertarik untuk
membukukannya.”
Lelakiku masih
antusias bercerita, samar-samar masih kudengar dia menceritakan jumlah royalti yang
akan dia terima. Namun pikiranku melayang entah kemana, merasa berdosa, karena
tulisan-tulisannya yang bertokoh utama Lila sudah lenyap dari folder leptopnya.
Satu telunjuk jemariku telah menekan tombol delete
untuk folder bernama Lila.
“Maaaaaaaaas,”
jeritku penuh rasa dosa dan lelakiku hanya menatapku penuh tanya. (end)
Comments
Post a Comment