www.pixabay.com |
Suara kursi berderit
terdengar dari depan kubikelku. Itu tempat duduk Dwi. Ternyata tidak hanya aku
saja yang lembur.
“Belum pulang Wie?”
tanyaku tanpa menengok kubikel Dewi. Aku masih meneruskan merapikan file
sebelum menyimpannya di share drive. Besok
tugas ini akan di periksa oleh bigboss.
“Iya,” suara Dewi
lirih, meski seperti terdengar kaku dan terasa asing ditelingaku. Tapi aku
tidak menghiraukannya. Dewi, si anak Jogja yang baru setahun lebih ini
bergabung di departemenku memang selalu lembut tutur katanya.
Sepertinya tadi Dewi sudah berpamitan pulang.
Tapi, di akhir bulan begini tidak aneh jika banyak teman-teman yang harus
ikhlas merelakan waktunya sampai malam untuk lembur, karena laporan akhir bulan
tidak boleh diundur barang seharipun.
Kubikel di
belakangku sepertinya juga masih ada yang lembur. Terdengar suara keyboard yang
di ketuk dengan penuh semangat. Tak…tuk…tak…tuk. Itu seperti terdengar dari
meja Banu dan Hasan. Dua sahabat yang sangat solid satu sama lain. Mereka hampir
selalu berdua. Dan tumben kali ini mereka belum pulang. Biasanya mereka yang
paling ontime pulangnya.
“Banu, belum pulang?”
teriakku tanpa membalikkan badan. Aku masih merapikan fileku, tinggal sedikit
lagi. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara tuts keyboard yang terdengar masih asyik diketuk jemari.
Aku menarik nafas
lega, akhirnya selesai juga. Kulirik jam tangan biru di pergelangan. Sepuluh menit
berlalu dari angka delapan. Bergegas kumematikan laptopku, menyimpannya di laci
dan tak lupa menguncinya.
“Wi aku pulang dulu,”
pamitku kepada Dewi. Tak ada suara, ku longokkan kepalaku melihat kubikelnya.
Kosong, dan mejanya terlihat rapi. Bulu kudukku mulai merinding. Kupalingkan
kepalaku melihat kubikel Banu dan Hasan. Terlihat warna hitam masih menyembul
di balik kubikel.
Aku bertanya sambil
mendekat ke kubikel Banu, “Banu, kemana Dewi? Bukankah dia tadi belum…….?” Belum
selesai pertanyaanku, bulu kudukku merinding sejadi-jadinya. Aku terpukau,
namun segera mengambil langkah seribu. Aku tak sanggup lagi melihat lagi wajah
Banu dan Hasan. Tak kuingat lagi peraturan perusahaan untuk mematikan semua
lampu dan AC bagi yang terakhir meninggalkan ruangan. Aku hanya
berlari-berlari. Peluhku bercucuran, jantung berdegup dengan cepat. Turun dari
lantai empat menuju gerbang perusahaan rasanya adalah sebuah perjalanan
panjang.
Kuhentikan kakiku di
depan pos security. Masih terengah-engah,
aku terduduk lemas dilantai yang terbuat dari jajaran pavling blok rapi. Seorang
security mendekatiku. “Ada apa Mbak?”
tanyanya menatapku keheranan.
Nafasku masih
tersengal-sengal. Aku tak mampu menjawab. Yang kuingat adalah dua wajah manusia
tanpa mata dan hidung, yang ada hanyalah bibir lebar yang menyeringai hingga
telinga. Aku lemas.(End)
#FlashFiction Ghost
Mungkin orangnya pake masker bergambar hantu
ReplyDelete