![]() |
www.pixabay.com |
Aku
ingin berlari darinya. Pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar-putar di
relung hati. Ingin kusampaikan padamu. Namun, semuanya hanya mengendap di sudut
hati. Membeku dan menyesakkan dada ini.
Sesak,
mual, perih, pedih. Pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar-putar di kepala dengan
spekulasi jawaban yang meremukkan hati. “Tidak! Bagaimana aku bisa mengatakan
itu akan membuat jiwaku terluka jika aku belum mendengarnya langsung dari bibir
mungilmu?” suara hati kecilku bimbang
mencari pembenaran.
Tanya demi tanya terus mengerumuni, menggerogoti sendi, membuatku lunglai. Sorot mata mereka menyala
penuh arti, menertawakan ketidakberdayaanku. “Apa yang menyebabkan kamu tak sanggup
mengatakan kepadanya? Bukankah dia selama ini tak pernah sekalipun mengabaikan setiap
pertanyaanmu? Bertanyalah! Percayalah jika dia akan menjawabmu dengan sebaik-baiknya.”
Pertanyaan-pertanyaan
memberondongiku dengan pertanyaan, menimbulkan pertanyaan baru dalam hati. Semakin
menumpuk, menumpuk. Sesak. Ruang hatiku berteriak tak berdaya. Mataku menatap
layar android, gigil jemari ragu ingin menekan tombol nomormu yang tertera di
sana. Menggeleng, tarikan nafas terlepas mengurangi berat beban yang melekat. Tanya demi tanya kembali menyeruak dan
menari-nari di kepalaku.
“Apakah …..? Benarkah …..? Tolong jawab
tanyaku tanpa ragu! Agar aku tak punya keraguan lagi kepadamu.” Rangkaian
kata-kata itu telah kupersiapakan. Namun, tetap tak tersampaikan. Mengapa untuk
pertanyaan yang satu ini lidahku begitu kelu hanya untuk sekedar bertanya
kepadamu? Mengapa jemariku kaku hanya untuk sekedar merangkai kata dilayar
android dan kemudian ku kirimkan kepadamu? Mengapa oh mengapa?
Satu persatu pertanyaan kembali mengerumuniku. Menyuarakan tanya yang sama. Suaranya seperti
dengung lebah yang mengitari telinga. Kepala berputar-putar, mata
berkunang-kunang, akhirnya gelap. Aku lelah merasai semuanya. Biarlah kurebahkan
jiwaku barang sesaat saja.
Dalam
temaram remang cahaya aku menatap tanya demi tanya yang menggelayut erat
dalam pikiran. Mereka yang diam dalam tidur malamnya. Aku tepekur menelusuri
labirin hati. Mencari jalan keluar agar semua pertanyaan ini tak lagi
menghantui. Perlukah pertanyaan ini
kusampaikan kepadamu? Kemudian isakku lirih melepaskan rasa dari setiap kontemplasi
jawaban yang sekiranya akan ada.
Pertanyaan-pertanyaan
menatapku garang, matanya melotot tajam, aku bisa merasakan gigi-giginya menggeligis
geram. “Tidak, aku belum mampu menyampaikan pertanyaan,” bisik hatiku melemah
mencari pengampunan.
Kini
mereka menyeretku, memaksaku untuk menemuimu. Mata mereka yang nyalang menyiratkan
jika tidak ada kesempatan. Suaraku nyaris serak memohon ampunan. “Aku belum
siap dengan sebuah jawaban yang menyakitkan,” ujarku menyampaikan alasan. “Sampai
kapan?” tanya mereka meradang. Aku hanya meringkuk terdiam, meski jiwaku tak
kuasa lagi dengan segala teka-teki ini.
Pertanyaan-pertanyaan
kembali mencengkeram ulu hati, sesak dada ini. Aku yang pengecut, tak sanggup
mendengar jawaban dari sebuah tanya, tanya sederhana yang membutuhkan kebesaran jiwa untuk mendengar
jawabnya. Kubiarkan dia menggelayut di sana, hingga suatu
saat aku siap mengatakanya kepadamu sebuah pertanyaan sederhana tentang kita. (end)
#Tugas Kelas Fiksi
Materi 4
Comments
Post a Comment