![]() |
www.pixabay.com |
Tulisanku
ini kutuliskan untukmu Ryan, maaf jika tulisan kali ini berbeda. Aku hanya
ingin mengabadikan apa yang terjadi diantara kita. Apakah kamu setuju Ryan? Semoga
kamu menyetujuinya dan berharap tidak kaget saat membaca tulisanku kali ini.
Kita ini mungkin termasuk manusia langka. Apakah
kamu ingin bertanya mengapa aku menyebut kita sebagai manusia langka? Karena di
dunia yang sudah serba instant ini, bisa aja kita saling bertukar nomor whatsapp atau kita bisa menggunakan
aplikasi hangout untuk bertukar
informasi dengan cepat. Tetapi tidak, kita lebih senang menggantung cerita,
menunggunya sempurna tertulis dalam surat elektonik yang kamu kirimkan kapanpun
kamu suka. Dalam setiap surat yang kamu kirimkan, kita menjadi tahu bahwa ada
kabar yang saling kita tunggu.
Tentu
kamu masih ingatkan Ryan? Bahwa surat-surat yang melayang lewat email ini hanya berasal dari sebuah
puisi. Ya, puisimu yang berjudul sahabat pena. Dari puisi itulah awal mula
persahabatan ini tercipta.
Bolehkah
kuabadikan isi suratmu di sini?
Hai Wiwid,
Aku mau cerita. Aku sedang menunggu seseorang. Entah ini aku menunggu
atau saling menunggu, aku tidak tahu. Sore tadi cuaca di kotaku sedikit
mendung, tapi tidak hujan. Aku sedang mengedit satu video di rumah. Belum
selesai pekerjaanku itu, ada seorang teman yang tiba-tiba mengajak aku bertemu.
Ya, aku awalnya meminta dia datang saja ke rumahku jika ingin
bercerita. Aku lanjut kembali mengerjakan video. Lalu dia menghubungku dan
meminta aku datang ke Amplaz (mall di kota kelahiranmu, kamu ingat bukan?).
Oke karena aku kira ini penting, aku tunda dulu pekerjaanku. Sepertinya
tidak apa nanti masih bisa aku lanjut. Dan kamu tahu? Sekarang aku sendirian.
Menunggu. Yang aku tunggu entah di mana. Mungkin sedang makan malam. Mungkin
nonton. Aku ingin pulang saja. Tapi terlanjur janji.
Memang begitu terkadang ya. Kita bisa menyepelekan waktu yang
diluangkan oleh orang lain.
Dari aku,
Ryan
Suratmu
itu kubalas dengan segera. Aku berharap kamu masih sempat membaca di antara
kesibukanmu. Inbox emai yang selalu kutunggu akan tertulis namamu membalas
suratku. Kemudian pagi ini, kuterima surat balasan itu.
Kepada Wiwid
Hai Wiwid, apa kabar?
Jangan menduga aku abai akan surat-suratmu,
tentu saja tidak. Aku tidak bisa membalas segera sebab aku sedang berada di
suatu tempat yang sulit sekali mendapat sinyal internet.
Aku menulis cerita ini dalam perjalananku
kembali ke Jogja. Kamu masih ingat bukan ceritaku di surat terdahulu jika aku
mendapat pekerjaan baru di Jakarta. Kota yang kini kemacetannya telah ditiru
oleh kota kelahiranmu, Yogyakarta. Saat jemari mengetik di layar android, aku
duduk di bangku paling belakang. Iya, aku mengambil bus patas dan kebetulan
hari minggu, penumpang memenuhi bus tanpa bisa membuatku bergerak sedikit saja.
Aku tak bisa berbuat banyak, bahkan ketika seorang nenek tua berdiri di dekat
pintu. Untung saja tidak lama. Aku
merasa bersyukur.
Kelak jika aku ingat, akan aku ceritakan
perjalananku sampai pada bus ini. tentang banyak hal yang aku temukan. Kusudahi
dulu.
Salam
Ryan
Ryan,
suratmu akan kubalas segera, meski hanya beberapa untaian kalimat yang
mengabarkan suasana kotaku saat ini. Kota yang kini cuacanya berganti, gigil
membekukan tubuh. Satu hal yang perlu kamu tahu, jika untaian-untaian kalimat
dalam suratmu mengingatkanku pada cerpen-cerpen Mas Keff di dalam buku Aura Negeri
Cinta. Sudah pernah baca? Kalau belum, tidak perlu penasaran. Cukup resapi saja
kalimat-kalimat yang kamu ciptakan.
Oya Ryan,
tunggu ya! Sebentar lagi surat balasan akan melayang ke kotak emailmu dan tentu saja aku menungu balasan suratmu
yang bercerita tentang perjalanan dalam bus itu. Tidak perlu buru-buru, karena aku akan selalu menunggu. (end)
*Untuk
Ryan
Comments
Post a Comment