![]() |
www.pixabay.com |
Tubuhmu terlonjak. Jantungmu terdengar berdetak lebih cepat. Hening sejenak. Tangan kananmu mengelus dada berharap debaran jantungmu mereda dengan cepat. Suara hempasan pintu yang dibanting beberapa saat lalu, mengejutkanmu. Beberapa detik kemudian kamu kembali asyik bersamaku. Melintasi batas dan terbang ke dunia lain yang kamu ciptakan.
Kembali
suara hempasan pintu yang dibanting sangat keras mengejutkanmu. Kali ini bukan
saja membuat tubuhmu terlonjak, tetapi membuat jantungmu berdetak berlipat-lipat
kali dari sebelumnya, sepertinya nyaris terlepas, wajahmu meringis, mungkin
kini terasa nyeri. Kamu tepuk-tepuk dadamu berharap reda. tubuhmu bangkit dengan raut wajah memerah. Membuka pintu ruang kerja, melongok keluar berharap menemukan
sosok lain yang telah berani membanting pintu dan membuyarkan konsentrasimu. Nihil.
Rumah luas, peninggalan orangtuamu itu terlihat sepi. Tak kamu temukan sosok
lain selain dirimu.
Kembali
kita duduk berhadapan. Kamu reguk segelas air putih yang telah dituang dari
sebotol besar minuman kemasan ternama di negeri ini. Menghela nafas dalam-dalam
dan kita kembali melintas batas, terbang menuju dunia lain yang kita ciptakan.
Sebenarnya
ada yang ingin kusampaikan padamu. Bahwa kamu terlupa sesuatu. Tapi aku selalu
gagal mengungkapkannya. Aku hanya bisa berdoa semoga kamu menyadari suatu
hari nanti. Kita memang telah bersama untuk waktu yang cukup lama, lima tahun. Segala
suka duka kamu tumpah ruahkan padaku. Setiap aku sakit, kamu tak pernah pelit
untuk mengeluarkan kocek yang tidak sedikit, membawaku ke tempat yang bisa
menyembuhkanku dengan cepat dan kamu harap seseorang di tempat itu
menyembuhkanku secara permanen, sehingga sakitku tidak kambuh lagi.
Namun,
sejujurnya kamu tidak boleh begini. Sungguh, kini hidupmu telah berubah. Kamu
tidak boleh begini! Hidupmu telah berubah.
Tiba-tiba
pintu kamar ini terbuka, sebuah wajah dengan raut muka tegang, mata melotot,
menatapmu. Rona wajah penuh kemarahan dan kebencian, garang, itu kesanku. Kamu
menoleh perlahan, kemudian tersentak dan menyadari sesuatu. Kamu tatap jam
tangan yang melingkar di tangan kanan. Kemudian kamu tepuk jidatmu menyiratkan
bahwa kamu terlupa sesuatu. Tergopoh tubuh gagahmu menghampiri sosok itu, sosok
perempuan dengan rambut panjang sebahu, wajah berkulit putih bersih dihiasi
kelopak mata yang bulat dengan iris mata kecoklatan. Sosoknya hampir menyamai
tinggi badanmu.
“Maaf
sayang, aku terlupa.” Suaramu lirih menghiba, tanganmu mencoba meraih
tangannya. Menyesal telah melupakan janji untuk menjemputnya dari tempat kerja.
Dia
menolak tanganmu. Kamar berubah hening, kalian sama-sama terdiam. Kemudian wajah
perempuanmu berubah muram, mendung menggelantung, airmata luruh.
“Maaf
sayang, aku benar-benar terlupa.” Kamu menghiba sekali lagi. Aku teringat bahwa
ini memang bukan yang pertama kali.
Perempuan
itu semakin tersedu, pilu. Nada tangisnya berkata jika dia terluka karena
merasa kamu abaikan. Inilah yang ingin kusampaikan karena kamu tak menyadari
jika terlupa bahwa hidupmu tak sendiri lagi. Kamu rengkuh erat perempuanmu yang
masih menangis tergugu. Bibirmu mengecup helai rambut hitam yang tergerai. Perempuan
yang kamu nikahi sebulan lalu. Namun, kamu sering terlupa akan kehadirannya karena
keasyikanmu menghabiskan waktu bersamaku, menyatu padu, ketika jemari-jemari penuh semangat menari
di atas tubuhku, mencipta rangkaian kata hingga menjadi sebuah cerita yang
indah.
Kamu
larut dalam sesal dan perempuan itu masih tergugu, sedu sedannya mengoyak
jiwaku. Itulah hal yang ingin kusampaikan padamu. Jika kamu tidak boleh
melupakan lagi statusmu yang telah berubah kini. Aku tahu kita lebih sering bersama,
duniaku selalu bersamamu. Namun, seharusnya kamu menyadari jika kini kamu tak
sendiri lagi. Ada dia selain aku, di sini. (end)
*Urombo : Menyesal
#Tantangan Kelas Fiksi ODOP
Comments
Post a Comment