![]() |
www.id.aliexpress.com |
Kamu memang lelaki keras kepala. Sudah beberapa kali
dibilang, jika tidak perlu pergi memancing lagi. Ikan sudah tidak ada. Mereka
semua sudah terbang ke langit. Kamu mengataiku gila. “Mana ada ikan terbang ke
langit?” katamu sambil mendengus kesal, kemudian menyeruput segelas kopi
hitam sebelum pergi berangkat memancing pagi itu. Aku tinggalkan dirimu
melangkah ke kamar. Kudengar pintu depan dibanting dengan keras. Kamu pergi,
mungkin dengan dada yang mendidih.
Pada suatu petang, ketika aku menyembelih ikan yang kamu
bawa pulang. Ikan dengan mata lebar, menatapku tajam. Besarnya lebih dari seluas
telapak tangan, mungkin sekitar satu kilo. Mulutnya yang tebal bergerak,
siripnya bergoyang. Seketika tanganku terdiam. Kuperhatikan dengan seksama.
Mulutnya benar-benar bergerak. Ini mungkin fantasiku belaka, karena baru saja
menonton film Finding Nemo. Tapi, kudengar sebuah suara, “Mungkin ini terakhir
kalinya suamimu mendapatkan ikan ketika memancing. Kami, ikan-ikan akan pindah
ke langit. Aku mematung. Kutanya, "Mengapa?" Ikan hanya terdiam, melotot
tajam, tapi tak bergerak lagi, pun siripnya. Akhirnya kubelah ikan, kugoreng,
kemudian menjadi santapan makan malam. Kulupakan tentang ikan. Kunikmati gurih
daging lezat yang dia tawarkan, hingga hanya tinggal tulang-belulang yang kusisihkan
untuk si belang yang sudah mengeong-ngeong di depan tak karuan.
Aku selalu terngiang-ngiang dengan ucapan ikan. Meski aku
bimbang itu khayalan atau benar-benar sebuah pesan yang ingin disampaikan olehnya.
Mengapa mereka akan pindah ke langit? Mungkin perairan sudah tak bersahabat
lagi dengan mereka? Atau mungkin manusia terlalu serakah menguasai hasil laut
yang tenyata tidak hanya ikan saja? Kenapa? Kini kekesalanku kepadamu terkikis
oleh rasa penasaran. Aku ingin kamu segera pulang dan benar-benar membawa hasil
pancingan. Mungkinkah ikan yang akan kamu bawa pulang juga akan membawa pesan?
Sore menjelang magrib, kamu pulang. Wajah merah terbakar
matahari dihias kelelahan. Aku menyambutmu dalam diam, segelas kopi sudah
terhidang di atas meja makan. Kita duduk
berseberangan, kupandang wajahmu yang terdiam menikmati kopi hitam; asapnya
yang masih mengepul; kamu sesap perlahan. Kita masih terdiam, tapi tersimpul
satu jawaban jika kamu mengiyakan apa yang telah kukatakan. Kali ini hanya satu
ekor ikan kamu bawa pulang, mungkin ikan pembawa pesan bagi pemancing seperti
lelakiku. Kuharap begitu, agar aku dan kamu tahu kepastian akan berita kepindahan
ikan-ikan ke langit.
Kupandang satu ekor ikan yang kamu bawa pulang, jenis
ikan yang sama, yang kamu bawa pulang beberapa waktu lalu. Mata besarnya seolah
melotot ke arahku. Kubiarkan, aku menunggu, andai dia ingin menyampaikan
sesuatu. Beberapa saat berlalu, aku menyimpulkan jika ikan itu tidak akan
mengatakan sesuatu. Kuayunkan pisau untuk memotong mulut besarnya, sebelum
membelah dan membersihkan kotoran di dalam tubuhnya. Namun, sebuah suara
kembali menghentikanku. “Tunggu! Aku ikan
terakhir. Esok lagi tak akan ada ikan di perairan”. “Kenapa?” tanyaku. “Kami akan pindah ke langit, mungkin juga ke
bulan. Dimana tidak akan ada lagi manusia yang suka mengkambinghitamkan garam
di mana kami selau berenang di dalamnya.”
Duabulan sudah kamu tidak pernah memancing. Ikan telah
menghilang dari perairan. Gelisah sikapmu karena harus kehilangan sebuah
kemenangan ketika bisa medapatkan ikan dari joran yang kamu jatuhkan ke lautan
atau ke dalam kolam ikan. Hingga pagi ini kamu memutuskan untuk pergi ke kolam
pemancingan. Ada rindu di matamu. Aku hanya mengangguk mengiyakan ketika kamu
berpamitan, dan memandangmu yang pergi dengan tas berisi joran di punggung
bidangmu.
Kutunggu kepulanganmu dengan penuh kecemasan. Larut, hari
hampir tengah malam. Namun, wajahmu penuh kebahagiaan. Tak ada cerita apapun
yang keluar dari mulutmu. Setelah membersihkan diri, kamu kecup keningku dan tertidur
pulas di sampingku. Wajahmu kembali ceria seperti dulu, saat hari ikan-ikan
masih berenang di perairan.
Sore di hari berikutnya kamu berkemas. Menceritakan padaku
akan sebuah perjalanan ke bulan. kamu bilang malam ini akan akan ada kereta uap
yang pergi ke sana. Kamu ingin menumpang di dalamnya hingga bertemu ikan-ikan
yang telah berpindah ke langit dan mungkin juga ke bulan seperti pesan terakhir
ikan yang kamu tangkap beberapa waktu lalu. Aku tercengang. Kini kubilang kamu
yang gila. Kamu menggeleng dan meyakinkan diriku jika akan ada kereta uap yang
berhenti malam ini di depan rumah dan membawanya pergi ke langit. Aku akhirnya
hanya terdiam mengiyakan, melihat apakah kamu meracau atau ini akan menjadi
kenyataan.
Tepat jam duabelas malam, benda yang kamu tunggu datang.
Mataku terbelalak tak percaya. Aku seperti tersihir menatapmu bergegas
menapakkan kaki menaikinya. Bibir dingin yang tak asing mengecup kedua pipiku
sebelumnya, dalam samar kudengar kamu berkata,”Jika rindu aku, tataplah langit! Aku akan berenang bersama ikan-ikan. Kamu
pasti akan menemukanku di antaranya.” Aku masih terpaku ketika
gerbong-gerbong berwarna pekat saling bertautan itu bergerak perlahan
meninggalkan halaman. Merangkak naik menuju langit. Tanganmu melambai ke arahku
diiringi pancaran mata bahagia. Cerobong asap terlihat mengepulkanan uap panas
dan semangkin melesat meninggalkanku yang masih terpana.
Sejak hari itu aku sendiri, sepi. Aku mulai merinduimu. Kutatap
langit. Kulihat ikan-ikan berenang di atas sana. Mungkin kamu di antaranya. Pesawat terbang
perlahan membelah kerumunan ikan dilangit. Kini aku seperti tinggal di seaworld. Setiap kutatap langit,
ikan-ikan hilir mudik berenang dilangit. Mungkin kamu di antaranya, menatapku yang
mencarimu dan melihat pancaran kerinduanku akan hadirmu di sini, di sisiku.
(end)
#Tantangan ODOP materi 10
#Tantangan ODOP materi 10
Comments
Post a Comment