![]() |
www.pixabay.com |
Malam
semakin mencekam. Mamak masih saja tepekur di atas dipan tua yang memanjang di
dapur. Tangannya telaten membungkus bubur nasi yang akan dijual esok hari. Aku masih
menatapnya dari kejauhan, tempat tidurku yang masih satu ruangan dengan dapur. Wajah
mamak yang kelelahan, di hiasi dengan gurat-gurat penuaan. Rambut tipisnya yang
sudah rontok, dia gelung, hanya sebesar lingkaran jari telunjuk dan jari jempol
jika keduanya bertemu membentuk huruf O. Andai saja bapakku tidak gila, Mamak
seharusnya sudah membaringkan tubuhnya yang sudah mulai renta untuk lebih banyak beristirahat setiap
malamnya.
Ketika
kutanya Mamak mengapa masih saja betah tinggal dengan lelaki gila? Mamak hanya
tersenyum. Aku sungguh tak mengerti dengan jawaban Mamak, hingga kini. Jika Mamak
cinta dengan lelaki gila itu, kenapa Mamak tidak pernah menanyakan apakah ia
mencintainya juga? Sungguh aku tak mengerti cinta seperti apa yang ditawarkan Mamak
kepada Ia. Ia, lelaki gila; begitu aku menyebutnya, yang hanya menawarkan
neraka dunia.
Malam
itu kutinggalkan Mamak yang masih sibuk dengan bubur nasinya dalam mimpi. Aku
terduduk dibawah rimbun pohon akasia yang menjulang di tepi jalan. Sunyi malam
itu tak membuatku ketakutan. Sebuah tali dan belati tajam kupersiapkan. Dari kejauhan,
sosok yang sangat ku kenal berjalan perlahan. Setitik warna merah terlihat, itu
mungkin sebatang rokok yang menyala di antara jemarinya. Tubuhnya semakin mendekat,
aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang lewat. Belati kutikam di ulu hatinya. Ia
tak bergerak seketika, hanya mengejang untuk sepersekian detik. Aku begitu puas
menatapnya begitu kesakitan. Segera kuseret tubuhnya dan kuberdirikan di batang
pohon akasia. Kuikat erat. Aku tersenyum puas menatap ia yang tak berdaya, tawaku
membahana. Tak akan ada lagi neraka di rumah reyot berdinding bambu. Tak akan ada
lagi suara yang membentakku. Tak akan ada lagi suara piring pecah dan pelanting
panci di setiap waktu. Aku semakin tertawa penuh kepuasan.
Namun,
tiba-tiba sebuah tangan mengguncangkan tubuhku. Mamak dengan wajah penuh campur
aduk. Aku tak bisa menerka apa yang terjadi dengannya. Tunggu, sebuah kesedihan
menggelayut di sana.
“Cepat
bangun Le, Bapakmu mati,” ujar Mamak membuatku mengucek mata berulangkali.
“Benar
Mak?” aku menjawab tak percaya dan segera bangkit menuju kamar depan yang di
sekat dengan papan bambo dan gorden tipis murahan.
“Mana
jasadnya Mak?” tanyaku keheranan karena tak kutemukan jasad lelaki gila itu di
rumah.
“Masih
di Pohon Akasia, di jalanan dekat lapangan sana. Seseorang telah membunuhnya.” Suara
mamak tersendat-sendat menjelaskan.
Tiba-tiba
aku tercenung. Aku segera bangkit dan berjalan cepat beriringan dengan mamak
menuju pohon akasia di tepi jalan kampung. Orang-orang sudah berkerumun. Bisik-bisik
tentangga terdengar, berspekulasi atas kematian lelaki gila ini -bapak-.
Namun,
seketika aku menggigil. teringat dengan mimpi yang kualamai. Sebuah belati
menancap tepat di bagian ulu hatinya. Posisinya berdiri tegak di batang pohon akasia
dengan tali yang mengikatnya. Aku semakin menggigil dan bertanya-tanya, siapa
pembunuh bapak sesungguhnya? (end)
Comments
Post a Comment