![]() |
www.pixabay.com |
Lelaki
itu diguyur bensin tanpa ampun, kemudian seseorang menjentikkan korek api. Kobaran
api membalut tubuhnya hingga tak bergerak lagi. Semua berawal dari amplifier rongsokan
yang dibawa si lelaki, Muhammad Aljahra. Dari sebuah teriakan orang-orang yang
berteriak maling, massa menggila dan membiarkan si lelaki di hakimi tanpa
sidang perkara. Massa gelap mata dan menghakimi sendiri segala kecurigaan
dengan membunuh seorang ayah yang belum tentu bersalah. Siapa sebenarnya yang
pencuri? Mengapa main hakim sendiri?
Mungkin
kita telah membaca peristiwa tragis yang menimpa Zoya alias Muhamad Aljahra,
seorang tukang reparasi yang dipanggang mati oleh warga karena dituduh mencuri
amplifier masjid. Sungguh tragis, mengapakah masyarakat kita sering main hakim
sendiri?
Fenomena
main hakim sendiri sudah marak dikalangan maysrakat kita. Bisa jadi hal itu
disebabkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum yang semakin
menipis, ataupun mungkin kekecewaan yang terus bertumpuk kepada para pelaku
kejahatan yang tidak mendapat hukuman setimpal, sehingga sekecil apapun
kejahatan atau pencurian, maka masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan
hukuman kepada pelaku kejahatan tanpa ampun, tidak melihat lagi apa yang dicuri,
tanpa mendengar lagi pembelaan dari tertuduh.
Dari
segi apapun maupun latar belakang apapun main hakim sendiri tidak dibenarkan
hukum. Satu-satunya solusi agar masyarakat tidak main hakim sendiri adalah
aparat yang berwenang benar-benar menunaikan tugasnya sebagai penegak kebenaran
dan keadilan tanpa memandang hak, jabatan ataupun hal pribadi lainnya. Masyarakatpun
diharapkan tidak gelap mata, mencari akar masalah dari setiap kejaidan yang ada
dan mengembalikan segala keputusan kepada yang berwenang.
Kita
sebagai mahluk sosial juga harus belajar menempatkan diri seandainya hal itu
terjadi pada diri kita.. Dalam kasus contoh tragedi yang menimpa Zoya ini, coba
andaikan kita sebagai Zoya, pernahkah kita berpikir jika ada hati yang perih
saat ditinggalkannya? Tentu ada anak, istri dan orangtua yang begitu
mencintainya yang selalu berharap kehadirannya. Apapun kesalahan manusia kita
tidak berhak menghakiminya sendiri terlebih memanggangnya tanpa nurani.
Comments
Post a Comment