![]() |
www.pixabay.com |
“Tentu masih ada harapan,” gumam Ruth yang termangu di depan layar laptopnya. Beberapa hasil penelitian yang telah dia lakukan untuk membuat sebuah perubahan di kota ini, telah tersimpan di sana. Hanya butuh beberapa sumber pengayaan lagi agar dokumen ini lengkap dan bisa diajukan ke Dewan Keselamatan Manusia di pusat Kota. Sudah saatnya pihak Dewan memikirkan dengan sungguh-sungguh, mencari akar masalah yang hingga kemudian menemukan setitik jalan terang sebagai jalan keluar agar kota ini selamat dari mara bahaya yang telah mengancam. Namun, Ruth merasa tidak bisa bekerja sendiri. Dia harus menemui Ben untuk bekerjasama menlakukan penelitian ini.
Ketakutan mulai menyebar di antara penduduk Negeri Nevro. Penyakit kulit yang telah mematikan melanda Rakyatnya. Setiap hari kabar duka selalu terdengar di antara warga. Sesaat kesedihan merayap, namun segera terlupakan karena berita seperti itu akhirnya terdengar biasa. Ini memang bukan penyakit kulit biasa. Penyakit kulit yang awalnya hanya gatal biasa, tetapi kemudian merajalela di sekujur tubuh, kulit mengelupas, lecet, bernanah, kemudian membusuk dan akhirnya nyawa melayang. Semua rakyat Negeri Nevro hampir dilanda penyakit yang sama. Kalangan medis telah melakukan penelitian, mencari obat alternatif yang memungkinkan bisa meringankan penyakit kulit yang melanda ini, tetapi nihil. Virus yang kuat itu terus meringsek sistem kekebalan tubuh rakyat Nevro.
Kini peraturan baru telah diterapkan oleh pemimpin Negeri Nevro yaitu penduduk yang ingin melakukan aktifitas di luar rumah, diharuskan mengenakan baju rancangan khusus yang selalu di jaga kesterilannya oleh beberapa tim di bawah pengawasan Dewan Keselamatan Manusia. Kini, kota itu terasa sepi, keramaian hanya saat-saat tertentu. Manusia manusia berbaju seperti astronot, berjalan pelan menuju toko ataupaun pasar untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Tak ada lagi anak-anak pergi kesekolah seperti saat duapuluh tahun yang lalu. Semua kegiatan belajar mengajar dilakukan di dalam rumah melalui media internet. Kota ini menjadi asing dan hampir mati.
Ruth mengeluarkan mobilnya perlahan dari garasi. Kegiatannya setiap pagi, mengelilingi Ibukota Negri Nevro, Kota Navere. Tiga tahun setelah wisuda- Ruth yang mengambil jurusan Tehnik Pengendalian Lingkungan Hidup- mendedikasikan hidupnya untuk melakukan penelitian tentang musibah yang menimpa kota Navere. Dalam setiap perjalanan paginya, Ruth telah menyimpulkan jika ada kesalahan pendidikan mental terhadap penduduk Negeri Nevro.
Mobil Ruth berhenti di depan sebuah rumah bercat putih, Rumah Sakit Negeri Nevro. Reno, satu-satunya saudara kecil Ruth yang masih tersisa, lelaki kecil tanpa daya terbaring lemah dengan kulit penuh nanah. Ben, lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta duduk dengan sabar di samping pembaringan. Ben yang telah menemaninya melakukan penelitian. Ben yang telah membantunya merawat Reno. Kembali Ruth meggerakkan arah matanya menatap Reno, darah mengental di sela-sela luka nanah. Pupil mata Ben menatap Ruth, ada rasa bersalah bercampur dengan rasa putus asa di sana
“Ayo kita selesaikan misi ini, Ben!” Ruth berkata pada Ben yang menatapnya semdu. Ruth yakin Ben mengerti benar asal muasal wabah penyakit kulit di kota ini.
“Pesta Sampah. Gunungan sampah itu runtuh dan selalu memakan korban," keluh Ben terbata-bata. Ruth hanya bisa menghela napas dalam-dalam, menyesali apa yang telah menimpa Reno.
“Jadi, apakah kamu sanggup mendampingiku menyelesaikan penelitian ini hingga akhir, Ben?” tanya Ruth sesak.
Ben hanya mengangguk dan menatap Ruth dengan sorot penuh cinta.
Ruth tahu penyebab kota ini hampir punah. Sampah yang menggunung di setiap tempat, berserak di sepanjang jalan. Tidak hanya jalanan, tetapi mall dan pusat perbelanjaan yang memiliki halaman luas telah terlihat gunungan sampah di sana. Lalat-lalat yang berpesta pora. Ada tanya mengapa Rakyat Nevro tidak menyadarinya? Karena mereka telah terbiasa membuang sampah tidak pada tempatnya dan akhirnya terbiasa bergumul dengan gunungan sampah dan lalat yang berpesta pora.(end)
Comments
Post a Comment