![]() |
www.pixabay.com |
Ada setitik air mata menetes di pipi,
ketika aku tidak mengetahui keberadaanku kini. Samar jalan terbentang di depan.
Aku lunglai, nafas tersengal. Amnesia, mengapa dan kenapa aku bisa terkurung di
sini, di ruang yang terasa sempit dan gelap, seperti tanpa ventilasi, membuatku
hampir mati.
Aku merangkak mencari setitik cahaya,
agar aku bisa keluar dari kegelapan. Jerit hati meminta pertolongan, namun aku
ragu, mungkinkah ada? Apakah Beliau akan datang? Beliau yang melegenda dan tak
pernah tahan mendengar jerit nestapa. Sebuah sorot lampu menyilaukan. Sosok kecil
dengan jubah menjuntai berdiri di depan sana. Ikan-ikan kecil beterbangan, dari
mulutnya menyembur bintik-bintik berkilauan, mengangkat tubuhku kemudian
meletakkan di sebuah gerbong dengan banyak kursi. Samar aku mendengar suara
berkata,”beliau akan membawamu ke tempat yang paling membahagiakan di dunia.”
Aku duduk, mataku nanar mencari asal
suara. Kutatap beliu yang duduk menunduk di ujung kursi.
“Jangan mendekat kepadanya!” sebuah
suara terdengar lagi. Aku tertegun, Siapa gerangan yang bersuara? Kutatap beliau
yang hanya diam membeku, mulutnya terkunci. Bukan beliau pasti.
“Hei…hei…ini aku yang berkata. Bus
yang kamu tumpangi,” satu suara terdengar lagi mengejutanku. Kuedarkan pandangan
ke seluruh ruangan Bus ini. aku masih tak mengerti.
“Tidak usah heran, aku mengetahui isi
pikiran dari setiap penumpang bus ini.” Ia bersuara lagi, bahkan sebelum bibirku
sempat berucap sepatah kata.
Bus meluncur dengan cepat. Aku hanya
terdiam, menanti apa yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian bus memelaan.
Aku beranjak, setelah Beliau mengawang di depanku. Ikan-ikan kecil bermunculan
dari jaketnya yang terjuntai.
Beliau terbang ke atas Bus menjauh. Aku
terduduk di anak tangga kedua. Mataku menangkap sosok yang sedang tertawa di
depan sana adalah diriku. Jas hitam dengan bross bunga mawar teselip di dada
sebalah kiriku. Di sampingku seorang gadis cantik senyum-senyum tersipu malu,
menyalami satu persatu tamu.
“Itu mimpimu, bukan?” kata Bus yang
suaranya sudah kukenali,”perempuan itu memang bukan yang kamu impi, tetapi ia
takdirmu.”
Aku menggeleng lemah, tak mengenali
perempuan itu. Aku menggeleng lagi.
“Dialah takdirmu, saat itu kelak akan
menjadi hari yang paling membahagiakan untukmu,” kata Bus itu lagi, seolah selalu
mengetahui isi hati ini.
Aku masuk lagi, duduk di kursi persis
di belakang kemudi. Menekuri lantai bus yang sudah mulai berkarat. Beliau
masuk, sekilas tatapannya menusuk. Bus melaju lagi. Kuedarkan pandanganku
keluar, menantap mimpiku yang semakin memudar.
“Beliau memerintahkanku untuk kembali
ke tempat asal kami menjemputmu tadi.” Aku hanya terdiam. Aku menggeleng, hatiku
berkata jika aku tak ingin tempat itu lagi.
“Kamu tahu tempat yang gelap itu? Itulah hatimu yang telah tertutup oleh kecewa yang tak bertepi.” (end)
inspired by Novel "Semua Ikan di Langit"
Sebuah usaha mematahkan writers block
Betul banget, hati tertutup kecewa itu sulit terbuka, selalu gelap, selalu merasa hampa :(
ReplyDelete