![]() |
www,pixabay.com |
Beberapa waktu yang
lalu, teman saya meenceritakan sedikit riak yang dia rasakan di dalam rumah
tangganya. Pernikahannya baru sekitar 2 tahun (Alhamdulillah lebih lama
daripada Taqi Malik-apa hubungannya ya?). Begini nih, pernikahan tuh belajar
setiap hari, bersabar setiap hari. Jangan dikira setelah puluhan tahun berjalan
kita sudah merasa mengenal pasangan hidup kita sepenuhnya apalagi baru berjalan
3 bulan. Tidak. Maka, salah satu modal
utama dalam pernikahan adalah kesabaran yang tiada batas. Egoisme harus dibuang
jauh-jauh. Pasangan hidup kita mungkin telah dididik dan tinggal puluhan tahun
dengan keluarganya yang tentunya mempunyai adat kebiasaan dan pola pikir yang
berbeda dengan keluarga kita sendiri. Saat dia kita temukan, dipasangkan oleh
kita, tentunya karakternya sudah terbentuk. Lalu, apakah tidak mungkin
mengubahnya seperti keinginan kita?
Mengubah karakter
sesuai dengan keinginan kita, apalagi mengharapkan berubah 100% sesuai ekpetasi
kita itu sama halnya seperti pungguk merindukan bulan. Jadi, tidak bisa? Beberapa
hal mungkin bisa, tetapi pada ujung-ujungnya kita dan pasangan kita adalah dua
manusia yang berbeda. Saat dia menjadi pasangan hidup kita, dia tetaplah diri
pribadi dia dan kita sendiri adalah diri pribadi kita sendiri. Yang diperlukan
keduanya untuk menjalankan biduk rumah tangga hanyalah pengertian dan cinta
kasih yang selalu dipupuk setiap harinya, meningatkan amalan kebaikan, menimba
ilmu agama agar semakin dekat dengan tujuan kita berumah tangga yaitu hanya
untuk mendapatkan ridho-Nya.
Kembali ke kawan
saya di awal tulisan. Suatu hari kawan saya bercerita tentang rumahtangganya. Dia
seorang lelaki dari latar keluarga yang biasa, anak pertama dengan 4 orang adik
di bawahnya. Istrinya adalah anak orang berada yang mana selama hidupnya
istrinya tidk pernah menginjakkan dapur dalam artian memasak dan mengerjakan
pekerjaan rumahnya.
Sebagai seorang
lelaki dengan tipe terbiasa dengan kebersihan dan kerapian karena mamanya
terbiasa menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan rumahnya, teman saya ini
hanya mengharapkan setiap dia pulang kerja rumah terlihat rapi dan bersih itu
saja.
Keinginan teman saya
itu ternyata dianggap sebagai tuntutan besar, suami yang tidak pengertian
karena dengan satu balita yang diurusnya, istrinya merasa kewalahan. Sedang
dalam pikiran teman lelaki saya itu, keinginannya itu adalah hal yang ringan
yang masih bisa dikerjakan sembari menunggu balitanya bermain karena di lain
sisi teman saya itu tidak menuntut istrinya untuk mencuci dan memasak. Dia hanya
menginginkan rumah bersih dan rapi, itu saja. Dalam bayangan teman lelaki saya,
pekerjaan rumah misalkan: mengepel lantai, melipat baju, membersihkan kaca
depan adalah hal yang masih bisa dilakukan. Walhasil istrinya justru melawan
dan mengungkit-ungkit nafkah yang baginya tidak seberapa karena terbiasa
bergelimang harta. Dan akibatnya teman lelaki saya itu rasanya enggan pulang
jika tidak ingat dengan anak lelakinya yang menggemaskan.
Kemudian saya
bercermin dari cerita teman saya tersebut dan menguliti diri sendiri. Dan akhirnya
saya menemukan diri sendiri yang terkadang juga tidak sempat mengerjakan semua pekerjaan
rumah ketika kelelahan yang teramat sangat mendera. Dan ketika saya dalam
keadaan seperti itu suami akan dengan sendirinya ketika pulang kerja merapikan apa
yang bisa dia rapikan sesuai dengan seleranya. Kini, satu hal yang saya
tekankan kepada anak-anak untuk selalu menjaga kerapian dan kebersihan rumah. Anak-anak
cukup membantu saya dengan merapikan mainan dan menyapu lantai jika mereka
telah usai bermain.
Dari setiap cerita
teman saya, saya menemukan satu hal bahwa rumah tangga memang seperti
berlayar di lautan. Badai datang, namun perlu kerjasama di antara penumpang dan
nahkoda untuk menyelamatkan bahtera dari amukan badai yang melanda. Jika tidak
ada kerjasama, tentu kapal akan terombang-ambing tak tentu arah dan mungkin
akhirnya akan tenggelam ke dasar lautan.
Comments
Post a Comment