![]() |
Sumber : www.pixabay.com |
Jika aku boleh meminta kepada Tuhan dan
itu pasti dikabulkan, aku akan meminta kepada-Nya agar bisa dikembalikan ke
masa tujuhbelas tahun silam. Bukan aku tak ingin menikah dengan dia. Aku akan
memutuskan untuk tidak menikah selamanya.
“Benarkah?” tanya sahabatku ketika
kuutarakan kepadanya keinginan mustahil itu.
Aku mengangguk pasti, tanpa ragu
“Bagaimana kalau dia yang dulu pernah
mencintaimu justru datang meminang?” tanyanya lagi, terdengar seperti ingin
menguji kesungguhanku. Aku terdiam, aku sendiri ragu jika memang seseorang itu datang.
Apa aku masih mampu bertahan. Dan aku hanya bergeming.
Kupandang dua kursi ukir dari kayu di
teras, kursi yang dulu kukira akan menjadi saksi canda tawa kami. Aku mungkin
dulu begitu memimpikan keluarga yang sempurna, Anganku membayangkan jika setiap
sore kita duduk berdua menatap anak-anak yang sedang bermain bola di halaman.
Kita bersendau gurau sambil merencanakan mimpi-mimpi kita. Tapi ternyata
semuanya hanya angan belaka, bahkan lebih buruk dari yang kukira.
***
Kusembunyikan wajahku yang menahan tangis
dari balik layar laptop. Meski tubuhku tersengal menahan isak yang menyesak di
dada dan nafas yang menderu, semuanya bercampur menjadi satu, Aku berharap
anak-anak muridku yang sedang asyik mengerjakan tugas tidak melihat mataku yang
mulai basah. Untaian kata-kata yang terpampang di layar laptop begitu merobek ulu
hatiku. Aku tak kuat lagi membendung rasa sakit teramat sangat. Salahku membajak
akun whatsappmu di laptopku. Aku hanya
ingin membuktikan kecurigaanku selama ini. Melihatmu yang tidak pernah
melepaskan gawaimu, kemanapun kamu pergi. padahal sudah lama kamu tidak pernah
seperti ini.
Segera kuberjalan cepat keluar dari
kelas, menyembunyikan airmata yang hampir tumpah dari pandangan mata anak-anak
yang wajahnya mereka terlihat selalu polos. Semoga mereka tak melihat.
***
“Siapa perempuan itu?” suaraku meninggi
sambil menunjukkan chattinganmu
dengan seseoarng bernama Rania.
“Bukan siapa-siapa. Dia hanya teman
SMA. Kami hanya ngobrol-ngobrol,” jawabnya datar tanpa rasa berdosa.
Mendengar jawabnya, darahku mulai
mendidih. Rahangku terasa semakin menegang, gigiku gemeretuk, kupelototi
wajahnya tanpa ampun. Dan dia hanya membeku, diam, Wajahnya biasa tanpa rasa
berdosa.
“Apa katamu? Tidak apa-apa tapi di
dalamnya berisi kata-kata rayuan mesum begitu? Ini bukan yang pertama. Kauceraikan
saja aku! Sudah muak aku hidup seperti ini,” teriakku padanya kalap. Aku sudah begitu
muak dengan sandiwara ini. Terburai lagi kelakuan-kelakuannya di masa lalu yang
telah coba kumaafkan. Kelemahanku yang tidak bisa menceraikan lelaki seperti
dia, sedang dia tidak mau menceraikan aku, meski perlakuannya padaku jauh dari
rasa cinta.
Coba kalian bayangkan adakah laki-laki
yang katanya mencintai sepernuh hati, hingga rela melakukan apa saja agar bisa
menikahiku, tetapi menyuruhku selalu menggugurkan calon bayi setiap aku
mengandung? Disebut apakah lelaki yang tidak mau menafkahi istrinya tetapi
selalu menyebut-nyebut perempuannya tidak mampu mengatur keuangan rumah tangga?
“Jangan, Dik. Aku masih mencintaimu.”
Tiba-tiba dia menghiba, memeluk tubuhku, menghiba di kakiku. Aku sebenarnya
sudah muak melihatnya. Omong kosong semuanya. Namun kemudian teringat Yoga dan
Basayev, dua jagoan yang selalu membuat semangat hidupku kembali menyala. Wajah
mereka selalu menari-nari di kepala seolah mengingatkanku untuk mendinginkan
otakku yang telah mendidih. Aku terdiam. Diapun masih terdiam di ujung kakiku
sambil kedua tangannya memeluk lututku. Kami sama-sama terdiam hingga beberapa
lama, tidak ada suara. Sunyi. Yang terdengar hanyalah suara dengus nafas kami
yang ingin melepaskan segala beban di dada, begitu berat. (end)
#DomesticDrama
#TantanganFiksi6
#DomesticDrama
#TantanganFiksi6
Comments
Post a Comment