![]() |
Source : www.pixabay.com |
“Kamu
tidak pernah menulis lagi, Widy?”
Sebuah pesan tertulis di layar gawai putih milikku. Sejenak aku tercekat. Apakah kamu selalu membaca tulisan-tulisanku di blog? Tidak, bukankah di sana adalah
semua cerita tentang…tidak…oh tidak. Aku menggeleng-geleng, menepuk kepalaku
sendiri dengan telapak tanganku.
“Saya nulis, kok.” Aku mencoba membela diri. Meski kini sedang
menulis untuk proyek buku solo, namun, sejauh ini baru setengah jalan. Aku
memang sedang malas. Jemari kaku. Laptop hanya kubiarkan selalu berlayar putih,
dan tak lama kemudian kututup begitu saja tanpa menghasilkan tulisan.
“Aku ingin baca tulisanmu lagi, Widy.” Kembali layar gawai
menyampaikan pesanmu. Aku kembali beku. Tak tahu harus menjawab apa.
“Kamu, nggak apa-apa kan?” tanyanya lagi dua menit kemudian. Jemariku
memilin-milin ujung kaos, sunyi senyap tak tahu harus berkata apa.
Dan akhirnya kujawab,”Ya, aku akan nulis lagi. Sekarang, aku sedang
menulis buku solo.”
“Wow,
aku pesen satu ya,”
pesannya secepat kilat menyerbu gawaiku, di akhir kalimat emoji lope-lope dia sertakan.
“Boleh aku bertanya, Widy?” kalimat
yang tertulis di layar gawai membuat jantungku berdetak lebih cepat. Jika dia
ada di hadapanku langsung, mungkin dia bisa menatap wajahku yang pucat.
Kuketikkan kata “ya”
sebagai jawaban. Dengan cepat kamu memberondongiku dengan pertanyaan.
“Hmmm…Kenapa
kamu nggak menulis lagi? Aku suka tulisnmu. Aku merasakan ada sosok yang
benar-benar hidup di setiap ceritamu. Dan aku menemukan jika sosok yang kamu
gambarkan itu hanya satu, orang yang sama dalam setiap ceritamu.”
Kubaca pesanmu dengan
helaan nafas tertahan. Bagaimana jika aku berhadapan langsung denganmu dan
harus menjawab pertanyaanmu yang seperti sebuah interogasi? Pasti wajahku akan
pucat pasi, bibirku akan kelu. Bagaimana aku bisa menjelaskan sosok dia dalam
ceritaku, padamu.
Kamu juga kenapa? Tiba-tiba
hadir dalam hidupku dan memberondongiku dengan berbagai pertanyaan? Mengapa kamu
hadir lagi? Apa pedulimu?
Sesungguhnya pertanyaanmu
bukan pertanyaan mudah untuk dijawab. Seharusnya, memang tidak ada alasan untuk
tidak menulis. Sebenarnya, ide itu selalu ada di kepala. Namun, tokohku sudah
mati. Dia lenyap tak berbekas di telan Desember yang selalu gerimis. Mungkin
dia bergelung dengan awan yang berarak, kemudian benar-benar lenyap ditelan
pekatnya mendung yang menggantung. Entahlah, aku tidak mengerti. Sosok itu
benar-benar telah mati, dan aku akan memastikan jika dia benar-benar telah
mati.
Kini, hatiku harus
mencari lagi sosok baru yang bisa menggantikan dia yang telah lenyap mati. Apakah
kamu? Hatiku berontak. Denganmu aku tak ingin terulang drama yang sama. Kukira
waktu itu kamu telah lenyap ditelan Desember yang selalu kelabu. Bahkan, ketika
hitungan Desember berlalu dalam windu, kamu masih merajai hatiku dan
menjadikanmu sosok yang hidup dalam cerita-ceritaku. Salahku tak bisa
melepaskanmu berlalu.
Kini, akan kupastikan
kamu dan dia sama-sama mati, dalam ceritaku. (End)
#OneDayOnePost
#TantanganODOP1
#TantanganODOP1
Comments
Post a Comment