![]() |
sumber :www.gambaranimasi.org |
“Di
mana ini?” teriakku di antara kebingungan yang melanda. Gelap gulita, tak
kulihat apapun selain suara cicit tikus,
hewan yang paling menjijikkan bagiku. Bau busuk menyengat hidung. Aku kenal bau
ini, bau tahi tikus. Mengapa aku ada di sini? Pelan-pelan, mataku mulai mampu
beradaptasi di kegelapan. Mataku terbelalak melihat puluhan tikus di
selilingiku. Spontan, tubuhku meloncat. Tidak.
Tempat apa ini?
Aku
mencoba berlari mencari jalan keluar. Namun, tubuhku hanya membentur
tubuh-tubuh gendut tikus yang berkerumun di segala penjuru. Aku tak mau
menyerah. Aku tak mau di sini. Sungguh, aku tak mau di sini.
Hari
berganti hari, dan aku harus menatap tikus-tikus itu mengerat segala macam
makanan yang mereka temui. Mata-mata mereka seakan mengulitiku setiap aku
merintih merasakan lapar dan haus yang mendera. Aku yang tidak bisa makan
seperti mereka. Tentu saja. Karena makananku selalu istimewa. Kini, apakah aku
harus mengikuti cara mereka? Tentu tidak, bahkan perutku mual merasakannya.
Aku
rindu rumah. Aku rindu perempuanku. Aku rindu lelaki kecilku. Aku rindu masakan
perempuanku. Aku tidak tahu sudah berapa hari aku tidak makan, tidak ada
kalender di sini. Jam tangan yang biasa kupakai di pergelangan tangan juga
hilang. Aku rindu, rasa yang selama ini tak pernah kurasakan.
Kutertatih
mencari jalan keluar. Setitik sinar kulihat di kejauhan. Aku terus berlari. Akhirnya
jalan keluar kutemui dan kini kuberdiri di depan rumah di antara rumah-rumah
yang berjejeran di gang sempit yang aroma
gotnya menusuk hidung dengan sangat.
Aku
mengendap-endap di pintu yang sedikit terbuka. Lelaki kecil yang sedang bermain
sendiri tak mengindahkanku yang masuk ke rumahnya. Kakiku berjalan menuju aroma harum yang yang menguar menusuk hidungku.
“Keluar
kau!” teriak seorang perempuan menangkap sosokku. Matanya berang, tangannya
dengan sigap melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Bunyi panci-panci
yang dilemparnya sembakin membuatku berlari menjauh. Tepat sebelum aku melewati
pintu keluar, sebuah sandal Jepit
melayang mengenai kepalaku. Tubuhku sempoyongan. Namun, aku bertekad
untuk tidak mati kali ini.
Kini,
perempuan itu ada di depan pintu. Matanya nyalang mengedar ke segala penjuru.
Pasti dia tidak melihat tubuhku yang bersembunyi di balik rimbunan pohon yang
daun-daunnya masih basah akibat gerimis beberapa saat yang lalu. Kepalaku masih
terasa pening. Kulihat perempuan itu masih berdiri di tempat yang sama. Kepalanya
mendongak menatap langit, sepertinya ingin memastikan apakah gerimis akan
benar-benar usai.
“Noel,
ada pelangi, Noel.” Sesaat kemudian
tubuh mungil sambil membawa bebek mainan
menyembul dari balik punggungnya. Si mungil berlompat kegirangan dan kemudian
bibir cedalnya menyanyikan lagu pelangi-pelangi.
Aku
mengenal mereka. Dialah perempuan dan malaikat kecilku.. Tiba-tiba rasa sesal
semakin meremas hatiku, membuat sesak napas. Ingin sekali rasanya segera
berlari ke arah mereka menyampaikan rasa penyesalan karena dulu mengabaikannya. Dan kini membuat mereka harus tinggal ditempat yang kumuh ini. Kupandang
diriku ini yang tak seperti dulu lagi, menjijikkan. Teringat ketika aku di meja
pesakitan, merapal doa kepada Tuhan dan keajaiban datang. Tubuhku menghilang.
Akhirnya
aku tak kuat menahan diri lagi. Kakiku berlari mendekat kearah mereka, ingin
segera kupeluk mereka dengan hangat. Sesaat kudengar si kecil berkata,”Ma, ada
tikus Ma, ada tikus” sebelum tubuhku ambruk dihantam benda keras. Aku roboh dan
mati. (end)
Comments
Post a Comment