![]() |
Sumber: www.gambarcantik.com |
Pagi
itu, warga Gang Sei Pening mengerumuni pedagang sayur keliling langganan. Muka mereka
mengerut. Kepala mereka tiba-tiba terasa pening. Pak Mun, Si Pedagang Keliling,
wajahnya pun ikut mengerut. Isi kepala mereka sama. Harga bahan makanan yang
semakin melambung. Pak Mun bingung, dengan modal yang sama, dia tidak bisa
mendapatkan jenis bahan makanan yang bisa dijual sebanyak dulu. Pembeli
bingung, memutar anggaran yang semakin memusingkan kepala.
“Masak apa nih? Bingung saya,” ujar
seorang ibu dengan baju daster warna biru. Kepalanya melongok kesana-kemari
melihat barang dagangan yang ada.
“Bayam berapa seikat ini, Pak?”
tangannya asyik menimang-nimang ikatan-ikatan bayam sebesar genggaman tangan.
“Delapanribu, Bu,” jawab Pak Mun pelan
seolah takut disalahkan. Mata si Ibu melotot, tak percaya dengan apa yang
didengarnya.
“Saya juga bingung, Bu. Di pasar,
bayam sekilonya delapan belas ribu. Mau saya ambil, mahal. Nggak saya ambil,
nanti ada yang nyari. Wis dah, saya ambil sedikit-sedikit
saja, biar lengkap.”
Si ibu berdaster biru masih manyun. Ibu-ibu
lainnya juga menggumam tak senang. Pak Mun hanya menghela napas, menanti
ibu-ibu itu memutuskan pilihan belanjaan.
****
Sore itu Gang Sei Pening semakin
geger. Kabar bapak-bapak yang terkena PHK menyelusup ke setiap rumah-rumah
sempit yang semakin terasa menghimpit. Dengan alasan efisiensi biaya, pihak
perusahaan mengadakan PHK besar-besaran. Hampir 50% karyawan akan terkena PHK
meski semuanya dilakukan secara bertahap.
Ibu-ibu Gang Sei Pening kepalanya semakin
berdenyut mendengar berita itu. Sekian lama mereka harus mengencangkan ikat
pinggang, kini dengan pesangon tak seberapa harus memutar otak hingga
bapak-bapak mendapatkan pekerjaan yang baru lagi. Itupun kalau mujur, rata-rata
yang diPHK yang sudah berusia tidak produktif. Mau melamar kerja di pabrik
lain? Sungguh, rasanya mustahil. Sedang kerumun anak-anak lulusan SMA di depan
pintu gerbang pabrik menunggu jika ada lowongan yang ditempelkan pihak HRD
sewaktu-waktu.
Pak Mun pun semakin bingung. Hari ini
kebanyakan ibu-ibu hanya membeli cabai dan tempe. Ada beberapa ibu yang membeli
ikan, itupun ibu-ibu yang suaminya belum kena PHK.
Maka, semua orang di Gang Sei Pening
semakin pening. Mereka resah dengan masa depan. Uang mereka semakin menipis. Anak-anak
sudah meringis. Perut-perut orang dewasa mulai melilit. Kelaparan di depan
mata. Harus mengadu kepada siapa?
Akhirnya
mereka memutuskan untuk ke Jakarta. Ingin mengadukan kepada pejabat yang
katanya memiliki kekuasaan untuk memutuskan sesuatu.
Berbondong-bondong
hari itu mereka menyewa beberapa truk untuk membawa mereka ke Istana Negara.
Mereka akan meminta pemerintah menurunkan semua harga dan membuka kesempatan
kerja. Agar mereka bisa tetap hidup bersahaja, yang penting bisa makan dan
bayar sekolah anak saja.
Truk
berhenti di depan Istana yang megah. Mereka disambut tank-tank baja yang gagah
dan para tentara dengan moncong senjata. Padahal keinginan mereka sederhana. Mereka
hanya ingin bertemu penghuni Istana.
Hingga
siang tak ada yang mau menemui mereka. Perut mereka mulai keroncongan, rasa
haus menikam kerongkongan. Dengan lunglai mereka naik ke truk.
Dari
kejauhan mereka melihat benda menyilaukan. Sesilau mata mereka saat melihat
makanan waktu perut keroncongan. Sopir memutar arah kemudi menuju benda yang
menyilaukan. Semangat empat lima, meski tak ada uang di kantong untuk sekedar
membeli gorengan di pinggir jalan. Truk berjalan beriringan dan berhenti di
tepi bangunan tinggi menjulang. Puncaknya terlihat menyilaukan. Wajah mereka
menyeringai sama bahwa monas harus di runtuhkan. Emas yang menjulang akan
tumbang dan dijual untuk sekedar pengganjal perut yang lapar karena belum
makan. (tamat)
#Swasuntig
#OneDayOnePost
#TantanganOdop ke-3
#Swasuntig
#OneDayOnePost
#TantanganOdop ke-3
Comments
Post a Comment