![]() |
www.pixabay.com |
“Buku pesananku
sudah ada kan, Jak?” Aku menatap Jak penuh harap. Jak hanya meringis.
“Udah lama kamu
nggak ke sini lagi, Na. Kenapa?” Jak justru bertanya tanpa menjawab
pertanyaanku terlebih dahulu.
“Jak, Novel
pesenanku udah ada kan? Kan janjinya yang pinjem novel itu akan ngembaliin hari
ini.” Jak terdiam sesaat. Raut wajahnya terlihat gelisah.
“Maaf Na, Novelnya
baru aja saya kasih ke peminjam yang lain. Baru aja pergi. Eh, tapi orang tu
janji akan balikin secepatnya.” Wajah Jak tampak merasa bersalah. Terlihat
sekali Jak berharap jawabannya akan menenangkan hatiku.
Tetapi tidak.
Jawaban Jak jutru membuatku geram. Kesel
banget mendengar jawabannya. Sudah ketiga kalinya Jak mendahulukan orang lain,
selain diriku. Padahal sebelumnya tidak begini. Jak tahu jadwalku dengan baik.
“Siapa dia, Jak?
Orang yang sama kah?” tanyaku diantara sengal nafasku menahan kesal yang
menumpuk. Jak hanya mengangguk.
Kutinggalkan Jak
tanpa kata-kata. Aku tenggelam di antara rak-rak yang berdiri kokoh di perpustakaan
miliknya. Aku memang sering ke sini. Sejak Jak pindah ke komplek perumahan ini
tiga tahun yang lalu, hobi membacaku seperti mendapatkan penawarnya. Orangtua
Jak membeli dua kavling ruko tiga lantai yang di bangun di deretan depan
sebelum masuk gerbang perumahan ini. Ruko itulah yang kini dijadikan
perpustakaan yang koleksi bukunya tak kalah lengkap dengan perpustakaan daerah.
“Na, kamu marah
padaku ya?” tanya Jak yang kini sudah berdiri di sampingku. Aku meliriknya
sesaat. Rasa kesal itu masih mendera. Tak tega melihatnya yang berdiri terdiam
menatapku, kupalingkan wajah dan menatap manik matanya mencari sorot kebenaran
di sana.
“Kamu sudah tiga
kali seperti ini, Jak. Memberikan buku yang kupesan pada orang lain. Aku ingin
tahu siapa orang itu.” Jak hanya terdiam dan menunduk.
“Eh, tapi Jak,
sepertinya aku yang salah. Ini kan perpustakaanmu. Kamu berhak meminjamkannya
pada siapapun. Tak perlu mengistimewakan diriku.” Pernyataanku semakin membuat raut
wajah Jak gusar.
“Ini, aku pinjam
novel ini.” Ku sodorkan dua buah buku dengan sampul berwarna putiih dan
bersampul biru. Tangan Jak dengan cekatan mencatatnya di kartu peminjam.
“Hi Jak,” sesaat
kemudian terdengar suara yang kukenal memanggil nama Jak. Aku berpaling. Wanita
setengah baya dengan balutan gamis warna hitam dan kerudung warna kunyit,
berdiri di sampingku. Tiba-tiba aku merasa salah tingkah. Kuanggukan kepalaku padanya.
Kulihat buku yang tadi kutanyakan sama Jak ada digenggaman tangannya.
“Eh, ada Na. Pinjam
buku ya, Na? Buku apa?” tanya perempuan itu ramah, kemudian kutunjukkan padanya
dua buah novel yang kupinjam. Dia hanya mengangguk. Sekilas kudapati cahaya
mata Jak berbinar. Aku kemudian berpamitan pulang.
“Na, tunggu!” Jak
memanggilku sesaat aku meninggalkan halaman rukonya. Kini dia berada di sampingku,”Na,
kamu masih marah padaku? Kamu tahu kan sekarang siapa yang meminjam buku-buku
yang sudah kamu pesan?” Jak menatapku lembut begitu juga dengan nada suaranya. Rasa
kesalku sepertinya luruh seketika.
“Apakah kamu mau
tahu alasannya meminjam buku-buku yang ingin kamu baca?” tanya Jak diiringi
wajahnya yang jenaka menatapku. Aku hanya menggeleng. Denyar itu kembali hadir.
“Sebulan yang lalu dia
menayakan apakah hobimu? Apakah aku serius denganmu?” Kemudian Jak terdiam,
seolah sengaja membuatku penasaran. Aku menatapnya gusar, dalam hati aku ingin
mendengarkan cerita selanjutnya.
“Na, kamu nggak mau
tahu apa jawabku?” tanya Jak gusar menatapku yang hanya terdiam. Jika seperti
ini dia sangat terlihat jenaka. Sesungging senyum kuukir untuknya.”Apa?” tanyaku
sesantai mungkin menutupi tanda tanya yang memenuhi pikiranku.
Jak menggaruk-garuk
kepalanya. Dia terlihat salah tingkah. Akhirnya Jak bersuara, lirih. “Aku jawab
kalau Nania suka membaca dan aku serius padanya. Dan sejak saat itu, Mama suka
sekali membaca. Katanya biar nyambung kalau diajak cerita sama kamu.”
Aku tersenyum, Jak
pun tersenyum. “Na, kamu tahu tadi apa yang diucapkan mama sebelum aku
menyusulmu barusan. Mama bilang kalau nanti aku harus meminjamkan buku yang barusan
kamu pinjam itu.” Wajahku mungkin memias mendengar kata-kata Jak. Aku hanya
mengangguk. Tidak ada orang ketiga
di antara aku dan Jak. Eh ada, orang ketiga itu adalah mamanya Jak. (sekian)
Comments
Post a Comment