![]() |
google search |
Zaman kecilku bisa disebut zaman old. Zaman di mana belum ada gawai. Yang ada hanya anak-anak
berkumpul di tanah kosong selepas pulang sekolah, bermain gobak sodor, main engklek,
main cublak-ublak suweng, main petak umpet, main dakon dan masih banyak lagi
permainan yang bervariasi setiap harinya yang dilakukan hingga sore menjelang
magrib. Setelah puas bermain kita sholat magrib di mushola kemudian dilanjutkan
mengaji hingga isya.
Dulu, di kampung kami
yang punya televisi hanya satu orang, mbah Imam, salah satu orang yang paling
kaya saat itu. Setiap malam minggu kami berkumpul untuk nonton siaran televisi hitam
putih hingga acara televisi selesai. Waktu itu saluran televisi yang ada hanyalah
TVRI. Jika dibandingkan dengan acara televisi zaman sekarang, waduh, pasti
acaranya membosankan sekali. Tapi saat itu, menonton televisi bersama-sama
merupakan suatu kebahagiaan tersendiri dan merupakan acara istimewa yang ditunggu-tunggu.
Zaman kecilku juga
dihiasi kenangan tentang bapak. Bapak itu suka banget bercocok tanam. Kebetulan
halaman depan, samping dan belakang itu luas banget. Dan bapak menanami setiap
jengkal tanah dengan berbagai macam jenis tanaman buah-buahan. Di halaman depan
berdiri pohon mangga manalagi yang buahnya selalu lebat. Kami selalu
menunggunya masak di pohon. Di salah satu dahannya itu juga bapak membuatkan kami ayunan. Selain mangga,
berdiri kokoh pohon jambu bangkok, pohon jambu merah, pohon melinjo, pohon
belimbing, pohon jeruk manis, pohon jeruk nipis, pohon durian belanda. Di samping
rumah ditanami berbagai macam keperluan dapur, ada cabe rawit, jahe, terung,
tomat, pohon labu dan juga sawi.
Di bagian belakang
rumah, ada pohon mangga, nanas, pohon nangka, kelapa, melinjo, papaya, pohon
ceri, pohon jambu monyet dan berbagai macam pohon lainnya. Setia jenis yang
ditanam itu tidak hanya satu batang saja. seperti pohon jambu Bangkok, ada
sekitar 10 batang pohon jambu Bangkok yang berdiri kokoh.
Dan yang lebih
menggelikan lagi, pohon jambu monyet. Hampir setiap bagian rumah kami berdiri
pohon jambu monyet. Dan ketika musim ulat tiba, pohon itu hanya akan dipenuhi ulat
bulu yang besar-besar dan berterbangan kemana-mana. Sudah tahu kan gimana rupa
ulat bulu jambu monyet? Tubuhnya sebesar jari kelingkin, bergaris-garis,
bulu-bulunya panjang. Bisa dibayangkan jika itu memenuhi hampir semua bagian
halaman rumah kami, bahkan sering masuk ke rumah terbawa angin.
Namun, selain
ulat-ulat yang mengerikan itu, kami juga bisa menikmati biji mete yang dibakar di
bara tungku, kemudian untuk mengeluarkan isinya, setelah biji mete itu masak
kami pukul dengan palu atau batu. Dan bisa dinikmati biji mete bakar alami yang
gurih dan lezat.
Itu sekelumit
kenangan masa kecilku yang hingga kini nggak pernah kulupakan. Kenangan yang
selalu mengingatkanku tentang sosok Bapak yang selalu kurindu. (tamat)
#30DWC
#OneDayOnePost
#Day19
Comments
Post a Comment