![]() |
www.blogku29.web.id |
“Mas Suden, ayo kita
latihan tarik tambang.” Suara Septiyana
membuyarkan imajinasi Suden yang sedang merangkai cerita di depan Lenovo
hitamnya. Meski merasa sedikit terganggu, namun kakinya segera beranjak menemui
Septiyana di halaman.
“Tunggu dulu ya, Mas
Sep. Saya ijin Bini dulu.” Septiyana hanya mengangguk, sesekali tangan kanannya
membenarkan letak kacamatanya melorot ke hidung. Tak lama kemudian Suden keluar dari
pintu. Celana training, kaos dan topi warna biru melengkapi penampilannya sore
itu.
“Bagaimana dengan
teman yang lain, Mas Sep? Apa mereka juga sudah dihubungi tadi?” Tanya Suden
sambil berjalan beriringan meninggalkan halaman rumahnya menuju lapangan serba
guna di komplek perumahan Jatayu Asri, tempat mereka tinggal.
“Aku tadi pagi
ketemu sama Lutfi, Yoga dan Wijaya di Masjid saat sholat subuh. Sudah kuingatkan
sih kalo sore ini harusnya kita latihan.”
Rumah Septiyana dan
Suden kebetulan berada dalam satu blok yang sama. Sedang Yoga, Lutfi dan Wijaya
berbeda blok. Namun, mereka masih dalam satu komplek dan RT yang sama.
Lomba tarik tambang
antar RT ini diadakan dalam rangka memperingati acara keakraban warga perumahan
Jatayu Asri yang akan dilaksanakan seminggu ke depan.
Sampai di lapangan,
nampak hanya anak-anak yang sedang main bola. Suden dan Septiyana duduk di
bawah pohon akasia yang rindang.
“Gimana nih, ini
jadi nggak ya latihannya? Kok pada belum datang.” Septiyana bergumam. Sudah setengah
jam mereka menunggu. Tatapan matai dia edarkan ke lapangan yang tidak berubah
jumlah orangnya.
“Iya nih. Padahal
tadi aku sedang nulis cerita. Itu tantangan day 10 juga belum kubikin?” Suden
menimpali dengan nada sedikit menyesal.
“Apaan tuh, Mas
Suden? Day 10…day 10?” tanya
Septiyana menatap Suden yang sedang mengorek-orek pasir dengan potongan ranting
di ujung jemari tangannya.
“Itu tuh, aku ikut
latihan menulis. Nah kan ada challenge menulis
setiap hari gitu. Kemarin aku tuh belum setor. Nah, tadi udah nulis. Baru
setengah jadi tuh. Keburu kamu panggil, Mas.”
“Maaf klo gitu. Apa
baiknya kita pulang aja ya? Pak Bari juga nggak kelihatan nih.” Ujar Mas
Septiyana mengurangi rasa bersalahnya pada Suden.
“Iya, Pak RT kok
nggak kelihatan. Biasanya dia yang paling semangat.” Suden menimpali. Ada rasa
sesal telah menghabiskan waktunya yang tidak seberapa menunggu orang-orang yang
tidak komit. Seharusnya dia masih duduk di depan Lenovo hitamnya menyelesaikan tantangan
kemarin dan hari ini.
“Iya. Pulang aja
yuk, Mas Suden. Lagian sudah jam setengah enam, bentar lagi magrib.” Ajak
Septiyana sambil beranjak dari tempat duduk.
Suden menatap
Septiyana bimbang. Namun, memang tidak
mungkin lagi anggota grup tarik tambang dari RTnya datang. Senja mulai turun,
sebentar lagi Adzan magrib akan berkumandang. Mereka berjalan pulang beriringan
dengan lunglai.
Di persimpangan
dekat kelokan blok, mereka bertemu pak Bari yang sedang memboncengkan istrinya.
“Mas Suden dan mas
Sep darimana ini?” tanya Pak Bari ramah. Dia mengehntikan motornya sejenak.
“Ini,bukannya hari
ini latihan tarik tambang ya, Pak?” tanya Suden hati-hati. Septiyana
mengangguk-angguk tanda mengiyakan pertanyaan Suden.
“Loh, apa kalian
nggak baca pengumuman di grup WA warga Jatayu Asri? Kan hari ini nggak jadi
latihan.” Pak Bari menjawab dengan penuh keheranan.
Suden dan Septiyana
saling berpandangan.
“Coba, mas Sep dicek grup WAnya. Saya kehabisan paket data dari kemarin. Jadi nggak bisa nengok WA.”
Septiyana
mengeluarkan gawai hitamnya. Kemudian jemarinya bergerak lincah naik turun.
“Saya nggak terima
pesannya, Pak,” ujar Septiyana bingung.
“Coba cek, terakhir
chatmu jam berapa?” Pak Bari ingin memastikan bahwa semua warga menerima pesan
yang dikirimnya tadi pagi sekitar jam setengah delapan.
“Jam enam pagi, Pak.”
Wajah Septiyana bingung, meminta penjelasan dari Pak Bari.
“Hmmm, pantes saja.
Saya ngirim pesannya jam setengah delapan pagi. Coba di cek, mungkin habis
paket datanya.”
Kembali Septiyana
menekuri gawai hitamnya. Kemudian menepuk keningnya dengan gemas.
“Iya, Pak. Paket
data saya habis. Maaf Pak.” Wajah Septiyana pias menahan malu.
“Hmm, saya
minta maaf juga. Pengumumannya mendadak. Kalau begitu, saya permisi dulu ya. Adzan sudah
berkumandang.”
Septiyana dan Suden
mengangguk kikuk. Kembali mereka melangkah dalam diam. Detak hati mereka
menyesali yang fakir kuota. Kuota ternyata sangat berguna, salah satunya
menyelamatkan waktu mereka yang terbuang sia-sia. (Cukup di sini dulu, tadi dipanjangin
ceritanya malah jadi beneran garing.)
#30DWC
#Day11
#OneDayOnePost
Comments
Post a Comment