![]() |
www.pixabay.com |
“Bangun Ummi! Hari
ini ulang tahun pernikahan kita,” bisikku lirih di antara sesak yang melanda. Hari
ini ulangtahun pernikahan kita yang ke-15. Bangunlah,
ummi! Masih lirih hatiku berucap. Namun, kamu semakin jauh di bawa sana. Tak
bisa kugapai. Satu persatu papan itu
diturunkan menutup tubuhmu yang beku. Aku hanya tersedu. Rasanya tak percaya
jika kamu pergi lebih cepat dari yang kuduga.
“Bi, kalau ummi
pergi duluan. Abi nikah lagi nggak?” tanyamu malam itu.
“Pergi kemana, Mi?
Pergi kerja? Kan udah biasa, tiap pagi Abi antar.” Jawabku pura-pura tidak tahu
dengan apa yang kamu maksud. Kemudian kamu mencubit lenganku.
“Ih Abi…, pura-pura
nggak tahu. Ayo jawab!” Rengekmu manja.
“Tapi, mengapa Ummi
tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanyaku penasaran. Karena sebenarnya
pertanyaanya amatlah sungguh seram.
“Sebulan ini, sudah
lebih tiga kali anak-anak meminta uang sumbangan untuk temannya yang ayah atau
ibunya baru saja meninggal. Aku membayangkan jika itu terjadi di antara kita.”
Aku kembali terdiam.
Kurengkuh pundakmu berharap bisa menguatkan, agar kamu tidak memikirkan sesuatu
yang tidak kita ketahui kepastiannya. Kemudian pelukanku melongar, kamu tatap
wajahku.
“Jadi, Abi nikah
lagi nggak kalau Ummi tiada?”
Aku hanya terdiam. Terus
terang aku tidak tahu harus menjawab apa. Apakah aku benar-benar sanggup hidup
tanpa didampingi seorang wanita. Secara selama ini hidupku banyak tergantung
pada sosok mereka. Sebelum menikah, ibu yang menyiapkan segala kebutuhanku. Bahkan,
ketika aku sudah menikah, ibu masih sering menjenguk dan membawakan makanan
kesukaanku.
“Baiklah, Ummi
mengerti.” Sahutmu melihatku yang terdiam. Kamu sepertinya tahu akan jawabanku,
antara kelemahanku atau jawaban yang akan membuatmu cemburu.
***
Lima menit itu
seharusnya tidak kulewatkan. Seharusnya sore itu aku menjemputmu, jadi kamu
tidak perlu berhenti ditikungan itu. Tikungan tempat pemberhentian angkutan
umum di dekat hutan kecil di
seberang jalan sebelum masuk perumahan. Kemudian perlu sekitar lima menitan kamu
berjalan untuk sampai di rumah kecil kita. Andai sore itu aku tidak marah padamu
karena kamu lebih memilih lembur. Mungkin kamu masih ada di sisiku.
“Lima menit lagi
saja, Abi?” Jawabmu di ujung telepon saaat aku mengabarimu jika sudah di
halaman kantormu menunggu. Entah mengapa darahku tiba-tiba meninggi. Mengapa kamu tidak menyampaikan sejak tadi,
jika kamu masih ada pekerjaan yang belum selesai? Seharusnya kamu tahu, jika
aku tidak suka menunggu.” Pikirku geram. Sebentar lagi adzan magrib dan aku
tidak mau mendengar suara adzan saat masih menunggumu di sini.
“Ummi pulang
sekarang atau abi tinggal, ini?” aku memberikan pilihan berat untuknya.
Ujung telepon senyap.
“Maaf bi, sebentar lagi saja. Sebentar saja, ya.”
Aku semakin meradang.
”Abi duluan.” Kemudian gawai kututup sebelum aku mendengar jawabmu.
Satu setengah jam
berlalu setelah aku meninggalkanmu. Pintu diketuk dan kupikir sosokmu yang akan
berdiri di ambang pintu. Namun yang berdiri di depanku adalah sosok polisi yang
berdiri santun yang mengabarkan
keadaanmu. Dan ketika aku sudah sampai di rumah sakit yang kutuju, kulihat
sosokmu yang kaku meski bekas luka yang menganga di bagian kepalamu terlihat
jelas oleh mataku. Aku tergugu dan kupeluk anak-anak yang ikut menangis
tersedu.
Rasa sesal itu
begitu mendera. Hatiku berharap untuk bisa mengulang lima menit yang pernah
kita pertengkarkan. Meski pada kenyataanya semua terasa sia-sia. (Tamat)
#30DWC
#Day10
#OneDayOnePost
Comments
Post a Comment