![]() |
www.pixabay.com |
Semuanya tak seseram yang
kubayangkan, bertemu dengan calon ibu mertua dan keluarga besarnya. Tujuh hari berselang setelah
mengutarakan keinginanya untuk melamarku, Ben menjemputku sore itu setelah
pulang kerja.
“Ibu ke sini,” katanya tanpa pembukaan.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti. Setelah melajukan Avanza hitamnya, Ben
mengatakan akan mengajakku menemui ibu, dan juga ayahnya dan juga ternyata
bersama kedua adiknya.
“Mereka sengaja ke sini untuk berjumpa dengan calon menantunya.” Ben
mengatakannya sambil serius menatap jalanan yang cukup padat. Mendengar pernyataan
Ben, ada yang menciut di dalam hatiku. Pikiran berkecamuk dengan segala tentang
bagaimana kalau, bagaimana jika.
“Ben, aku takut.” Sepertinya suaraku terdengar gemetar. Aku benar-benar takut bertemu dengan
mereka. Ben justru tertawa melihat raut wajahku yang mungkin memucat.
“Kenapa sih harus takut? Ibu, Bapak dan Adik-Adik itu makannya masih
nasi, kok. Nggak akan makan kamu.” Ben justru jail mencandaiku. Namun,
bercandanya tak mempan. Aku mengigil dalam diam.
“Ben, aku serius. Antar aku ke kostan deh. Jangan sekarang bertemu Ibu dan
Bapak. Aku belum siap.”
“Nggak usah takut. Ibu dan Bapak itu baik kok. Mereka nggak akan pilih-pilih. Kamu kan baik dan cantik. Bapak dan ibu pasti suka.”
“Nggak usah takut. Ibu dan Bapak itu baik kok. Mereka nggak akan pilih-pilih. Kamu kan baik dan cantik. Bapak dan ibu pasti suka.”
Aku hanya terdiam merapal doa. Semua hiburan yan ditawarkan Ben tak
mempan menawarkan hatiku dari rasa ketakutan.
Satu kelokan lagi, aku akan bertemu dengan mereka, calon orangtua dan
adik-adikku. Ya Alloh, berikan kekuatan. Entahlah, segala macam rapal doa
kuucapkan. Avanza hitam Ben berhenti di depan rumah no 53. Rumah bercat biru
dengan bunga-bunga di dalam pot besar berjajar rapi di teras depan rumahnya.
Seorang ibu muda berusia sekitar limapuluhtahun dengan kerudung warna orange berdiri di teras. Aku masih terdiam
di kursi. Bahkan ketika Ben membukakan pintu untukkku. Aku terkesiap ketika dia
memanggil namaku dan mengajak masuk ke dalam rumahnya.
Ben mengambil tangan wanita itu dan menciumnya. Aku mengikuti Ben sambil kusebutkan
namaku lirih. “Ratih, Bu.” Wanita itu;calon ibu mertuaku; menggandengku
memasuki rumah Ben yang baru pertama kali ini aku menginjakkan kakiku di sini.
Di dalam, Bapak dan kedua adik Ben sedang menonton TV. Berbagai hidangan
juga terlihat berjajar rapi, seolah semuanya sudah dipersiapkan untuk
kedatanganku. Kudekati Bapak dan kuraih tangannya. Adik-adik Ben berjajar rapi
disamping Bapak menyambut tanganku. Aku mulai lega. Tatapn mata mereka semua
penuh cinta.
“Ratih, ayo kita makan bersama.” Ajak ibu yang ternyata sudah duduk di
depan masakan-masakan tidak biasa kusantap. Ada rendang, sambal teri, gulai
jengkol, gudeg, sambal krecek dan masih banyak lagi yang tidak kutahu namanya.
Setelah mencuci kaki, aku duduk di samping ibu. Perlahan secentong nasi
dan satu iris rendang menghias piringku. Ibu dan bapak saling bersahut-sahutan
menceritakan segala hal. Mulai dari cerita perjalanan mereka dari Yogya ke Jakarta,
hingga tetangga-tetanga ibu di kampung yang terdengar lucu atau menyedihkan. Hingga
jam hampir menunjukkan angka sembilan malam, aku memutuskan untuk pamit.
Bapak dan ibu mengantarkanku hingga Avanza hitam menghilang dari
pandangan. Sesaat aku teringat saat Ibu berkata pada Benketika aku masih di
kamarnya melipat mukena yang kugunakan untuk shalat magrib.”Ibu lega, jika kamu
tidak salah pilih, Ben. Dia baik, aku bisa mengetahuinya itu. Ini naluri
seorang ibu.” Dan jawaban Ben membuat mataku merebak. “Iya, Bu. Ratih gadis manis
dan baik. Aku sudah mantap menikahinya. Tak ada rau lagi.” (end)
#30DWC
#Day7
#OneDayOnePost
Comments
Post a Comment