![]() |
www.pixabay.com |
Nggak
perlu sekolah tingi-tinggi, Le. Untuk apa? Tengok itu Anton sama bapaknya disekolahkan
tinggi-tinggi, tapi tetep nganggur juga. Aku
mengingat kata-kata emak, saat aku merengek melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Di kampungku memang tidak ada yang bersekolah
tinggi, jikalaupun ada paling-paling anaknya
orang terpandang seperti Pak Har, seorang pemborong, dan Pak Sok, seorang PNS
dan kepala sekolah di salah satu SMP negeri di kecamatan. Ada juga ding yang melanjutkan ke sekolah SMA, biasanya
anak-anak perempuan. Tetapi itupun sekolah di dekat kampung yang kualitas
sekolahnya diragukan. Pasalnya, kebanyakan mereka bunting duluan sebelum lulus
SMA. Jikalaupun tidak, setelah lulus SMA
mereka akan langsung menikah.
Masalahnya sekarang,
aku sedang naksir anaknya Pak Sok yang masih berstatus mahasiswi di salah satu
perguruan tinggi swasta ternama di kota. Runi namanya. Parasnya manis, tutur
katanya lembut dan dia juga tidak sombong, meski dia satu-satunya mahasiswi di
kampung ini. Aku sering mencuri pandang
ke arahnya saat kami sedang rapat pemuda-pemudi. Tapi aku juga masih berkaca, aku
dan dia bagai langit dan bumi.
Coba bayangkan jika
kelak Runi mau jadi istriku, diundangan akan tertulis Runi Murwaningtyas SE
bersanding denganku Ahmad Santoso yang nggak lulus SMA, kok sepertinya nggak pantas
banget. Meski pada kenyataannya, warga di kampungku buta akan hal-hal seperti
itu, nggak pernah memedulikan sarjana apa bukan. Tetapi tidak denganku, aku
merasa seperti mimpi untuk mempersunting Runi. Apalagi sainganku agak berat,
Anak Pak Har, Anton, yang sudah lulus kuliah terang-terangan ngejar Runi. Meski Anton terkenal
playboy kelas kakap. Coba siapa cewek cantik di kampung ini yang nggak
dipacarinnya. Anton juga sudah mengumumkan kepada kami jika dia sudah resmi berpacaran
dengan Runi. Padahal sebulan yang lalu Anton baru saja bilang ke kami, kalau
dia baru saja menaklukan kembang desa kampung sebelah, anaknya seorang polisi
bernama Prita.
Anton itu sebenarnya
temanku main layang-layang waktu
kecil. Dia dulu baik perangainya. Wajahnya memang ganteng, lebih tepatnya terawat
sih. Nggak seperti aku yang setiap hari kerjaanya bermandikan sinar matahari,
mencari pasir dan batu di kali Gendol yang mengalir tidak jauh dari rumah. Tetapi
perangai Anton sedikit banyak berubah semenjak dia sekolah SMA di kota
dilanjutkan kuliah di sana. Dia juga punya geng yang berisikan anak-anak dari
luar kampung. Geng yang terkenal dengan gaya hidup bebasnya. 3M, main, madat,
madon secara terang-terangan. Hanya saja warga kampung enggan menegur perilaku Anton
yang bagi mereka sudah melanggar adat, karena bapak Anton yang terpandang. Ah,
aku males ngurusin dia. Aku hanya was-was karena sudah beberapa kali melihat
Runi pergi malam mingguan bersama Anton.
Sepertinya aku harus
merelakan Runi jika tidak menjadi istriku. Dua truk sebagai modalku jual beli
batu dan pasir, juga rumah yang bisa dibilang cukup megah hasil dari kerja
kerasku puluhan tahun setelah lulus SMP sepertinya tetap tidak bisa kubanggakan
untuk menjaring calon istri sekelas Runi. Tiga bulan berselang setelah aku memutuskan
pasrah jika tidak bisa memiliki Runi, kampungku gempar. Runi hamil. Batinku
nelangsa membayangkan Runi yang kucinta mau melepaskan begitu saja mahkotanya
pada lelaki yang bukan suaminya. Dan laki-laki yang menghamilinya tentu saja
tak salah lagi, Anton. Yang lebh mencengangkan lagi jika Anton nggak bisa
nikahin Runi, pasalnya Prita juga bernasib sama seperti Runi. Keluarga Anton
lebih takut menghadapi keluarga Prita, karena Bapaknya Prita yang seorang polisi
itu mengancam akan memerkarakan Anton jika tidak bertangung jawab.
Namun, malam ini Pak
Sok dan Runi ada di rumahku. Wajah Runi terus tertunduk. Aku nggak tahu harus
mengumpat atau mengucap syukur, ketika malam itu Pak Sok memohon kepadaku untuk
menikahi Runi. tiba-tiba lidahku kelu. Hatiku rasanya campur aduk, Kutatap runi
yang masih menunduk.
“Kenapa kauyakin aku
mau menikahimu, Run?”
Runi masih terdiam. Wajahnya
pucat. Kemudian lirih bibirnya berucap,”Karena aku tahu kaumencintaiku, Mad.”
Aku tercengang. Aku dan
Runi hanya dekat dan bertemu jika ada kegiatan pemuda-pemudi. ”Bagaimana bisa
kau seyakin itu?” tanyaku lagi sangat ingin tahu, sebab sekalipun aku tak pernah
bercerita tentang perasaanku pada orang lain. Bahkan, Emak pun nggak tahu.
“Dari matamu, Mad. Aku aku mungkin buta memilih
Anton yang sudah terkenal playboy, tapi matamu nggak bisa berbohong, Mad.”
Aku tercekat mendengar
jawaban Runi. Pak Sok kemudian mengambil alih pembicaraan. Dia memohon kepadaku
untuk menikahi Runi. Setumpuk sertifikat yang kata Pak Sok adalah sertifikat
rumah dan beberapa sawah, dia berikan kepadaku sebagai balas jasa menyelamatkan
nama baik keluarganya. Tiba-tiba perutku mual. Batinku rasanya bertentangan,
antara ingin mengumpat dan senang. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? (tamat).
#30DWC
#OneDayOnePost
#Day18
Comments
Post a Comment