![]() |
source : www.pixabay.com |
“Tulisanmu beda,”
kata Ren hari ini.
“Beda apanya?”
tanyaku lagi
“Ah, kamu pasti tahu
maksudmu. Tulisanmu sudah tidak seperti dulu atau sedang tidak seperti dulu?”
Aku hanya terdiam.
Aku tahu itu jika tulisanku tidak seperti dulu. Sepertinya lebih tepat jika kubilang
sedang tidak seperti dulu.
“Kamu tahu, tokohku
sudah mati. Aku harus mencari tokoh baru lagi.”
Ren kini yang
terdiam. kemudia sebuah tanya meuncur, “Kenapa tokohmu kamu bunuh? Bukankah kamu sudah mencintainya?”
“Ah takdir memang
hanya Tuhan yang kuasa. Tetapi untuk tokoh, aku yang berhak untuk menghidupkan atau mematikannya.
Dan aku kini telah membunuhnya, karena meskipun dia hidup, dia tidak lagi hidup dalam cerita-ceritaku.”
Aku mendesah. Tidak mudah
mencari tokoh yang akan selalu menjadi apa saja yang kumau. Hidup, gempita yang membuat pembaca tidak lupa.
“Kamu masih ingat,
cerpenmu yang berjudul Singa Tua? Itu
karakternya hidup sekali. Nggak bisa kulupakan. Pokoknya keren itu cerpen.
Pantas saja di muat di media bergengsi itu.”
Aku hanya tersenyum.
Aku ingat cerpen itu, cerpen yang kubuat dengan sosok dia yang kini telah
kubunuh. Ah sudahlah. Kemudian aku bergegas. Menatap diriku di depan kaca untuk sesaat, mencoba mencari aura
semangat di sana. Namun tidak ada. Hanya rasa hampa yang kurasa. Seperti ketika aku merangkai cerita, dan tak
kutemukan tokoh yang kucinta berdiri tegak di depanku, rela menjadi apa saja
yang kumau. Namun, pikiran dan jemariku yang terus meronta agar aku menghadirkan
lagi tokoh yang kucinta. Ah, semesta berkonspirasi untuk membuatku menyesal
telah membunuhmu sebagai tokohku dalam setiap cerita. (end)
#30DWC
#Day8
#OneDayOnePost
#KacaSingaHampa
Comments
Post a Comment