![]() |
www.news.okezone.com |
Kamu gandeng
tanganku pagi itu menyusuri gang-gang sempit di antara rumah yang berderet
bisu. Kita masih malu-malu. Ya, sejak kamu mengikrarkan janji suci itu di
hadapan penghulu, kamu boyong aku ke tanah kelahiranmu, Negeri Lancang Kuning.
Di ujung gang, kamu giring langkah kakiku masuk ke sebuah kedai dengan plang
nama “Barokah”. Melihat berbagai macam menu yang terpampang di etalase kaca,
aku tahu jika ini warung khusus sarapan pagi. Ada delapan meja besar dan bangku
pajang memenuhi ruangan. Di atas meja tersaji dua buah piring besar berisi
jajanan-jajanan pasar dan minuman gelas. Kita memilih duduk di sudut.
“Kamu mau pesan apa,
Dik?” tanyamu sambil menatapku. Aku hanya menggeleng.
“Ada bubur kacang
hijau, bubur beras merah, ada lontong, ada pulut
dan pisang goreng, ada kwetiauw, ada nasi goreng, ada lontong paku, ada
nasi uduk, ada lopis…, terus apa ya? Aku lupa, Dik. Kamu mau yang mana?” Aku hanya tersenyum mendengar tanyamu. Kamu telah
menyebutkan hampir semua menu yang ada. Aku sebenarnya tidak pernah sarapan.
Tetapi hari ini rasanya berbeda, karena mungkin kita telah di satukan-Nya.
“Seporsi pulut
dengan pisang goreng ya, Bang?” katamu ketika seorang pelayan mendekat yang kini
masih berdiri di seberang meja seolah menunggu pesananku juga. “Cepat, Dik!
Sebentar lagi warung ini akan penuh dengan orang-orang yang mau sarapan.”
“Aku mau lopis, Mas.”
Kataku akhirnya.
“Benar? Berapa biji?
Satu atau dua.”
“Hmm….” Aku teringat
ketika kemarin ke pasar. Aku membeli 3 buah lupis yang ukurannya sedang dan
rasanya enak sekali dan rasa lezatnya masih terekam dengan baik di lidahku.
“3 biji, Mas.” Ujarku
yakin dan kamu menatapku tidak percaya.
“Kenapa?” tanyaku
polos.
Kamu mengendikkan
bahu dan menjawab,”Nggak. Tidak apa-apa.”
Tak lupa kamu
memesan segelas teh susu dan segelas milo hangat untukku. Tak perlu menunggu lama, pesanan kita datang. Dan
menatap lopisku, tiba-tiba aku ingin tertawa. Aku tahu kini pertanyaanmu tadi,
satu atau dua?
“Mas, besar sekali
lopisnya.” Aku menatap takjub lopis di hadapanku. Rasanya lapar yang menyapa
perutku langsung pergi. Setiap satu lopis yang tersaji di sana berukuran 2,5
kali lipat dari lopis yang di pasar. Itu berarti aku harus menghabiskan sekitar
7,5 lopis yang kubeli di pasar.
“Itu tadi mengapa
Mas tanya, satu atau dua?” kamu menatapku dengan pandangan menggoda.
“Dih, kenapa nggak
di bilang kalau di sini ukurannya besar-besar,” protesku.
“Dah, di makan saja. Nanti kalau nggak habis, minta abangnya untuk bungkus tuh lopis.” Kamu menenangkanku
sambil jemarimu menyuap pulut (ketan kukus) yang ditaburi kelapa putih gurih
bersamaan dengan potongan kecil pisang goreng. Satu biji lopis ternyata telah benar-benar membuatku merasa kenyang. Abang pelayan dengan ramah membungkus sisa
lopisku.
“Jadi, satu atau dua,
Dik?” godamu membuat jemariku mencubit lenganmu. Kamu mengaduh dan kita tertawa
bersama mengingat “kerakusanku”.
#30DWC
#Day26
#OneDayOnePost
#14YearsAnniversary
Comments
Post a Comment