“Kau mau kemana?” tanyamu pagi itu saat kau
duduk menemaniku minum kopi. Kau sahabatku semenjak kita merantau di kota ini. Kupicingkan
mataku menatapmu, sedang pikiranku mengelana mencari tahu sebab kaubertanya begitu.
“Status WAmu,” kaujawab sambil
menatapku, seolah tahu tanyaku. Kemudian aku terkekeh. Status WA-ku memang
mengatakan jika aku ingin pergi. Akhir-akhir ini aku merasa jika dunia terlalu
menyakiti. Bukan, hatiku yang sebenarnya rapuh. Tapi, ya, aku ingin pergi
sesaat saja melihat indahnya sisi negeri yang lain. Dan apakah kalian percaya
jika Tuhan mengabulkannya dengan cara tidak biasa?
“Aku baru saja pulang
berkeliling negeri.” Matamu membelalak mendengar jawabku. Di sana ada tanda tanya
besar yang mengharapkan aku meralat pernyataanku. Kusesap kopi yang masih
menyisakan harum aromanya.
“Kau mengigau, kan? Apakah kau
bikin drama lagi dengan si Kacamata, hingga omonganmu ngaco?” tanyamu begitu
cemas. Tatapan matamu menerobos manik mataku mencari jawaban di sana. Aku
kembali terkekeh. Tiba-tiba teringat si Kacamata, lelaki berwajah putih pucat yang
selalu membuat hari-hari porak-poranda.
“Si Kacamata? Biarlah dia
memang begitu meski terkadang memang menyakitkan. Kau mau dengar cerita tentang perjalananku?”
tanyaku mengalihkan perbincangan kita tentang Si Kacamata yang pasti nantinya
hanya akan menambah berat dosa.
Kau mengangguk,”tapi aku sebenarnya
tidak percaya,” lirih bibirmu berkata.
“Jadi, kau mau tidak mendengar
ceritaku? Harusnya kamu tahu jika aku tidak pernah membual selama ini.” Kau terdiam
dan akhirnya mengangguk pasrah.
Kuceritakan dengan perlahan
ketika malam itu seekor kura-kura raksasa tiba-tiba berada di depanku. Tentu saja
aku terperanjat. Bagaimana seekor kura-kura sebesar tubuhku tiba-tiba berada di
depanku dan menatap begitu hangat. Tatap matanya seperti magnet yang menyeret
tubuhku untuk naik ke atas punggungnya. Aku menyadari ketika angin sejuk mulai
membelai wajahku. Ternyata kura-kura telah membawaku mengangkasa. Kulihat pemandangan
indah dari atas sana. Hijau bertebaran, genting-genting berwarna-warni, biru
dan orange, air lut berwarna biru dengan kapal-kapal di atasnya yang seperti perahu
mainan. Semuanya terlukis indah seperti hasil karya maestro dunia. Aku memandangnya
takjub. Dadaku yang selama ini sesak oleh perkara dunia seperti menemukan
obatnya. Kupejamkan mata, menarik nafas perrlahan hingga kemudian aku merasakan
jika hatiku terasa lapang.
Tiba-tiba kura-kura terbang
merendah. Batinku bertanya-tanya, apakah perjalanan ini akan berakhir? Aku hanya
mengamati sekeliling. Kura-kura mendarat di depan seorang wanita berwajah putih
pucat dengan riasan maha sempurna bak artis ibukota yang berdiri menggigil ketakutan di depan
rumah megah. Kini dia duduk di sampingku, rumahnya melayang, mendarat di atas
tubuh kura-kura. Ukurannya menyesuaikan dan tidak membuat penuh muatan. Tiba-tiba
seperti ada indera ke enam, aku dapat mengetahui segala apa yang dia pikirkan. Dia
sedang di kejar rentenir yang hendak mengambil sertifikat rumah megahnya. Hati wanita
itu berkata antara penyesalan dengan gaya hidupnya dan ketakutan dengan
kehilangan apa yang sedang dimilikinya.
Kura-kura kembali mengangkasa,
dan aku masih dapat menikmati hembusan angin yang meluaskan rongga dada. Selama
perjalanan, setiap beberapa saat, Kura-kura akan berhenti di suatu tempat,
menaikkan penumpang dengan segala kegundahan hatinya, luka, lara, kecewa dan
ketakutan, hal yang selalu menjadi ganjalan kehidupan. Punggung kura-kura
memadat. Ada yang berpakaian power rangers, ada juga si kecoa yang menangis
karena sering di injak-injak manusia. Ada juga harimau yang tak lagi menjadi
Raja Hutan karena sudah berjiwa hewan sirkus yang menghibur orang. Ada lagi mahluk
berdasi dengan tas berisi penuh dengan cek dan kwitansi. Ada juga perempuan
dengan wajah kusut masai, dengan bayi di gendongan dan anak kecil berusia dua
tahun dalam gandengan tangan kanan. Ah tak bisa kusebutkan semuanya, tapi
jantung mereka berdetak dan menyanyikan lagu kesedihan, ketakutan dan putus
asa.
“Lalu berapa lama kau
menganngkasa? Bukankah kita hanya tidak bertemu kamu sehari saja. Cukupkah hanya
beberapa jam saja,” tanyamu membabi buta. Ingin mengetahui yang lebih detil
lagi.
“Hmmm...sepertinya lama. Tapi entah
mengapa hari tidak berganti saat kura-kura berhenti di depan rumah malam itu.”
“Terus bagaimana akhirnya
hingga kura-kura bisa mengantarmu kembali ke rumah?”
Aku kemudian kembali
bercerita. Waktu itu mendung menggelantung. Kilatan petir telah terlihat. Guruh terdengar memenuhi udara. Kura-kura melesat dan memngembalikan kami satu
persatu ke tempat dia menjemput kami. Dan tak kulihat di antara kami berwajah sendu lagi. Mereka
tersenyum dan melambai kepada kura-kura yang telah memberikan satu pelajaran
berharga dari perjalanan singkat ini.
Seperti aku penumpang pertama, akulah penumpang terakhir
yang berada di punggung kura-kura. Sebelum dia melesat meninggalkanku, dia
bertanya padaku maksud dari perjalanan ini. Kuingat-ingat lagi rangkaian
perjalanan ini. Orang dengan penuh masalah berhimpitan ingin bahagia. Aku mengangguk
pasti pada kura-kura jika aku mengetahui makna dari perjalanan kali ini.
Setelah mendengar pengakuanku kura-kura mengangkasa. Aku menatapnya hingga
tubuh kokohnya lenyap di telan awan yang menggumpal di langit sana. (end)
#30DWC #OneDayOnePost #Day23
Comments
Post a Comment