sumber : www.steller.com |
“Kamu kemana selama
ini?” tanyamu hati-hati. Binar matamu menatapku tajam, penuh kasih.
“Sandal jepit,”
jawabku asal-asalan. Aku tak bermaksud menjawab pertanyaanmu.
“Apa? Sandal jepit? Apa
maksudmu, aku tak paham?” tanyamu lagi sambil memegang pergelangan tanganku.
Matamu kembali tajam mencoba menembus iris mataku. Aku hanya menunduk. Aku tak
ingin kamu telanjangi aku lewat tatapanmu.
Aku menggeleng lemah
kemudian berkata,”Tidak. Aku hanya sedang sibuk dengan beberapa deadline yang
harus kuselesaikan.” Kupalingkan wajahku dari tatapanmu. Sungguh, aku tahu jika
kamu bisa membaca semua yang kurasa dari pancaran bola mataku. Kita bukan baru
saja berteman, hitungan purnama telah selesai kita hitung.
“Ada apa? Kamu tidak
biasanya seperti ini. Tengoklah, rumahmu penuh debu dan jelaga. Kenapa kamu
sekarang seperti ini? Biasanya kamu paling cerewet ketika debu mampir ke dalam
rumahmu.” Tanyamu penuh selidik. Aku mengerti, ini bukan aku sebenarnya dan
kamu mengenalku dengan sangat baik.
“Ayolah, ceritakan
padaku!” kejarmu sambil memegang kedua pergelangan tanganmu. Kemudian tangan
kananmu mengangkat daguku, kamu pembaca hatiku yang baik.
“Sandal jepit,”
ujarku lagi.
Kulihat sekilas rona
kebingungan terpancar dari wajahmu. Kamu hembus nafasmu perlahan. Aku tahu itu
pertanda kamu seudah mulai kesal padaku.
“Please, Win. Ada
apa denganmu? Sandal jepit, dua kali kata itu terlontar dari bibirmu. Ada apa
denganmu. Memang aku akhir-akhir ini sibuk. Namun, kamu tahu alasannya bukan?”
ujarmu lembut. Kata-katamu yang sederhana mampu mengigilkan hatiku, menyususp
relung-relung hati yang sedang koyak.
“Tak ada apa-apa,
Rul. Aku hanya kehilangan sandal jepit,” ujarku perlahan.
Tatapanmu kembali
menajam, mencari kesungguhan dari ucapanku. Kamu menggeleng, tak percaya.
“Aku kehilangan
sandal jepit, Rul. Sandal jepit yang sudah menemaniku sehari-hari.” Aku masih
menunduk, menceritakan tentang sandal jepit yang kamu ingin mengerti.
“Apa istimewanya
sandal jepit itu, sehingga kamu melupakan semuanya, Win?” tanyamu lagi.
Aku terdiam. Kemudian
kamu tarik tangan kananku. “Kemana?” tanyaku tak mengerti. “Aku belikan kamu
sandal jepit,” ujarmu masih menarik tangan kananku. Aku mengikutimu
terseok-seok.
Rul,
maaf aku bohong. Aku benci melihat kamu datang lagi, Rul. Rumah ini berdebu dan
berjelaga karena aku menyusup di sudut ruang yang tak bisa kamu masuki. Tentang
sandal jepit itu, masihkah kamu ingat sandal jepit yang kita pesan waktu pasar
malam di alun-alun? Sandal jepit yang terukir namamu dan namaku. Kini sandal
itu hanya tinggal sebiji, sebiji lagi yang terukir namamu sudah kumusnahkan.
Aku benci kamu, Rul. Aku benci bahwa hari-hari ke depan kamu tak akan bisa
datang sesuka hati ini lagi. (selesai)
Comments
Post a Comment