Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2018

Balada Cinta Kartini

www.pixabay.com Kartini hanya bisa menggeram. Hatinya benar-benar perih. Rasanya ingin mencaci, menumpahkan segala rasa benci dan kecewa yang dia rasa. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya. Dia hanya menelungkup di atas kasur, menahan deras laju airmata yang mencoba membasuh lara yang menyelinap di dalam hatinya. Dia begitu benci terjebak dalam balada cinta yang baginya terasa tidak pernah usai. Mengikat, rumit dan membuatnya sesak nafas. Ingin dia terbang, lepas bebas di udara. Menatap bumi dengan gegap gempitanya. Namun, semuanya hanya angan belaka. Dia merasa benci kepada dirinya. Seharusnya dia tahu jika tidak perlu lagi menjadi pemeran utama di sana. Namun, seperti pepatah, betapa lebih sulit memaafkan diri sendiri yang begitu lemah hingga tetap berada dalam kubangan cinta yang tidak mencintainya. Kartini dalam dilema. Kini hatinya sedang berusaha membangun sebuah benteng kokoh di dalam hati yang kelak akan menahannya untuk tetap berdiri tangguh menatap

Kenangan Zaman Old

google search Zaman kecilku bisa disebut zaman old . Zaman di mana belum ada gawai. Yang ada hanya anak-anak berkumpul di tanah kosong selepas pulang sekolah, bermain gobak sodor, main engklek, main cublak-ublak suweng, main petak umpet, main dakon dan masih banyak lagi permainan yang bervariasi setiap harinya yang dilakukan hingga sore menjelang magrib. Setelah puas bermain kita sholat magrib di mushola kemudian dilanjutkan mengaji hingga isya. Dulu, di kampung kami yang punya televisi hanya satu orang, mbah Imam, salah satu orang yang paling kaya saat itu. Setiap malam minggu kami berkumpul untuk nonton siaran televisi hitam putih hingga acara televisi selesai. Waktu itu saluran televisi yang ada hanyalah TVRI. Jika dibandingkan dengan acara televisi zaman sekarang, waduh, pasti acaranya membosankan sekali. Tapi saat itu, menonton televisi bersama-sama merupakan suatu kebahagiaan tersendiri dan merupakan acara istimewa yang ditunggu-tunggu. Zaman kecilku juga dihiasi kena

Runi

www.pixabay.com Nggak perlu sekolah tingi-tinggi, Le. Untuk apa? Tengok itu Anton sama bapaknya disekolahkan tinggi-tinggi, tapi tetep nganggur juga.  Aku mengingat kata-kata emak, saat aku merengek melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Di kampungku memang tidak ada yang bersekolah tinggi, jikalaupun ada paling-paling anaknya orang terpandang seperti Pak Har, seorang pemborong, dan Pak Sok, seorang PNS dan kepala sekolah di salah satu SMP negeri di kecamatan. Ada juga ding yang melanjutkan ke sekolah SMA, biasanya anak-anak perempuan. Tetapi itupun sekolah di dekat kampung yang kualitas sekolahnya diragukan. Pasalnya, kebanyakan mereka bunting duluan sebelum lulus SMA.  Jikalaupun tidak, setelah lulus SMA mereka akan langsung menikah. Masalahnya sekarang, aku sedang naksir anaknya Pak Sok yang masih berstatus mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di kota. Runi namanya. Parasnya manis, tutur katanya lembut dan dia juga tidak sombong, meski dia satu-satunya ma

13 Tahun

google search “Kau memang benar-benar biadab.” Sosokmu tinggi menjulang mentapku tajam. “Kautahu aku tetap hidup hingga kini, meski kau tak menginginkannya.” Wajahmu menyeringai, matamu melotot tajam serasa ingin menembus dua bola mataku. Kuingat 13 tahun lalu saat aku tak menginginkanmu. Hari-hari setelahnya adalah hari-hari terberat dalam hidupku. Kamu setiap malam datang dalam mimpiku, menangis dan tertawa yang membuatku rindu. Aku terjerat dan terpikat olehmu, tanpa ragu. Setiap tahun kamu datang, di tanggal yang sama dalam mimpi dan anganku. Bayang cerita yang orang lain anggap sebuah cerita semu. Sedang pada kenyataanya saat kamu datang, kamu selalu mengingatkanku akan sesuatu. Meski itu dua atau satu kalimat yang membuatku menggigil dalam rindu ingin memelukmu. “Sekarang kaumenyesal telah mengabaikanku, meninggalkanku?” tanyamu dengan nada sinis. Aku tergugu. Sungguh andai aku diberi kesempatan kedua, apapun…apapun akan kulakukan meskipun dunia membenciku, menolakku

Lima Cangkir Kenangan

google search Selalu terhidang 5 cangkir yang isinya selalu berbeda. Satu cangkir kopi hitam untukmu. Satu cangkir energen untuk si Sulung. Satu cangkir coklat susu untuk si Tengah. Satu cangkir susu kedelai untuk si Bungsu dan satu cangkir teh Sari Wangi untukku. Kita seperti ini. Tak ada yang sama lidahnya. Pagi dan malam, 5 cangkir dengan isi yang berbeda akan menemani sarapan dan makan malam kita. Kemudian kita berlima duduk melingkar di atas tikar bamboo, kemudian menikmati santapan malam yang sederhana sambil sesekali bercengkerama. Kita tumbuh bersama di dalam rumah yang sederhana nan penuh cinta. Sesekali rindu mengulir ketika aku dan kamu menatap mereka meremaja. Begitu cepatnya waktu bergulir. Maka, sesekali secangkir energen akan absen dari makan malam, karena si sulung harus mengikuti kegiatan sekolah yang mengharuskannya meninggalkan rumah. Malam ini hitungan ratusan purnama. Kutatap sepasang cangkir yang isinya masih tetap berbeda. Secangkir kopi dan secangk

Rumit

www.pinterest.com Aku tak pernah tahu, mengapa tak pernah habis waktu menceritakan tentangmu. Ketika sunyi menyapa, desir angin yang berhembus membawa berita tentangmu, selalu. Sepertinya baru hitungan satu purnama berlalu, ketika kita memutuskan tak bersama lagi. Kulihat kamu tersenyum bersamanya. Sinar wajahmu terlihat bahagia. Ketika dia membisikkan sesuatu di telingamu, kamu tergelak dan kemudian berlalu meninggalkan kafe kecil; kafe tempat biasa kita bertemu setelah minggu-minggu yang sesak dengan jadwal kita yang tak menentu. Di kafe itu biasanya kita memesan dua minuman yang berbeda, kamu pesan satu cangkir kopi hitam dengan sedikit gula dan aku memesan secangkir teh melati tanpa gula. Sepiring pisang keju menemani kita hingga hari telah larut dan penjaga kafe memandang kita dengan senyum bahagia. Kuteringat lagi senyummu yang terlihat lebih lebar dari biasanya, seperti saat kita bersama dulu. Hatiku terasa ngilu, sesak menjalar ke dalam ronga dada yang terasa semakin

Noktah Merah

Celaka, semesta telah mengarsir hatiku dengan sebuah nama Nama yang seharusnya tidak lagi bertahta di sana. Kupikir aku telah menghirup aroma anyir darahnya Namun, semuanya salah sangka Kutatap kuda pak Kusir yang melangkah berderap di antara suara-suara nyinyir Otakku tak mampu berfikir Mataku terpejam mengukir setiap kenangan indah yang terpatri di sana Di sebuah noktah merah yang bernama cinta #30DWC #Day13 #OneDayOnePost

Si Boss dan Bekalnya

IGnya mbak Widhyanua Gue selalu iri melihat lelaki paruh baya itu. Dia boss gue. Namun gaya hidupnya terlihat elegan. Setiap pagi dia akan masuk ke ruangan berukuran 6x10 m ini pada jam yang selalu tepat. Ucapan selamat pagi dari bibirnya menyapa seluruh isi ruangan. Tangan kanannya menenteng tas bermerek Tupperware. Dan gue selalu penasaran dengan apa yang di dalamnya. Boss gue itu pasti gajinya berkali-kali lipat dibanding gue. Namun, dia tetep pede dengan bekalnya. Nggak pernah dia makan siang bareng rekan-rekan boss yang lain. Pernah suatu pagi boss gue manggil saat dia lagi sarapan.  Dia sedang mengupas ubi kukus putih. Gue ditawarin. Tapi gue segan banget mau ambil. Secara boss gue itu cara makanya kelihatan kalau masakannya lezat banget, padahal sepertinya cuman ubi rebus. Tapi boss gue tetep nyuruh untuk mengambil ubi kukus itu. Demi menghormatinya, gue ambil sepotong. Dan ternyata rasanya sangat manis dan gurih (pengin lagi-dalam hati). Sambil menghabiskan sepotong

Kuota oh Kuota

www.blogku29.web.id “Mas Suden, ayo kita latihan tarik tambang .” Suara Septiyana membuyarkan imajinasi Suden yang sedang merangkai cerita di depan Lenovo hitamnya. Meski merasa sedikit terganggu, namun kakinya segera beranjak menemui Septiyana di halaman. “Tunggu dulu ya, Mas Sep. Saya ijin Bini dulu.” Septiyana hanya mengangguk, sesekali tangan kanannya membenarkan letak kacamatanya melorot ke hidung. Tak lama kemudian Suden keluar dari pintu. Celana training, kaos dan topi warna biru melengkapi penampilannya sore itu. “Bagaimana dengan teman yang lain, Mas Sep? Apa mereka juga sudah dihubungi tadi?” Tanya Suden sambil berjalan beriringan meninggalkan halaman rumahnya menuju lapangan serba guna di komplek perumahan Jatayu Asri, tempat mereka tinggal. “Aku tadi pagi ketemu sama Lutfi, Yoga dan Wijaya di Masjid saat sholat subuh. Sudah kuingatkan sih kalo sore ini harusnya kita latihan.” Rumah Septiyana dan Suden kebetulan berada dalam satu blok yang sama. Sedang Yoga,

Lima Menit Itu

www.pixabay.com “Bangun Ummi! Hari ini ulang tahun pernikahan kita,” bisikku lirih di antara sesak yang melanda. Hari ini ulangtahun pernikahan kita yang ke-15. Bangunlah, ummi! Masih lirih hatiku berucap. Namun, kamu semakin jauh di bawa sana. Tak bisa kugapai. Satu persatu papan itu diturunkan menutup tubuhmu yang beku. Aku hanya tersedu. Rasanya tak percaya jika kamu pergi lebih cepat dari yang kuduga. “Bi, kalau ummi pergi duluan. Abi nikah lagi nggak?” tanyamu malam itu. “Pergi kemana, Mi? Pergi kerja? Kan udah biasa, tiap pagi Abi antar.” Jawabku pura-pura tidak tahu dengan apa yang kamu maksud. Kemudian kamu mencubit lenganku. “Ih Abi…, pura-pura nggak tahu. Ayo jawab!” Rengekmu manja. “Tapi, mengapa Ummi tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanyaku penasaran. Karena sebenarnya pertanyaanya amatlah sungguh seram. “Sebulan ini, sudah lebih tiga kali anak-anak meminta uang sumbangan untuk temannya yang ayah atau ibunya baru saja meninggal. Aku membayangkan jika itu

Kecoa-kecoa

www.pixabay.com Kepergianmu adalah gempa . Menggoyahkan pondasi rumah kecil yang selama ini kamu cipta. Kamu juga membawa pergi senja yang selalu membawa cerita yang tak pernah ada kata purna. kamu rampas rona jingga di ujung cakrawala. Hingga gelap dan pekat mencengkeram kornea mata yang tak mampu lagi menangkap sosokmu yang hilang di telan gulita. Senja itu kamu bercerita tentang kecoa -kecoa yang mati di gelas kopimu atau di mangkuk mie bekas makan malammu. Kamu memang selalu begitu, lebih suka menumpuk gelas dan mangkuk bekas santap malammu di kolong meja komputer. Kecoa-kecoa itu datang ingin menyesap ampas kopi atau sisa kuah mie yang masih tertempel di dinding-dinding kacanya. Hingga kemudian kamu membuat perjanjian dengan seekor kecoa, Kedengarannya kamu mengada-ada, seperti dongeng penghibur agar kita tidak merasa nelangsa saat kamu benar-benar meninggalkan bangunan megah yang kamu cipta di mana kita semua berada di dalamnya. Kamu berkata jika mungkin aku tidak ak

Singa Tua

source : www.pixabay.com “Tulisanmu beda,” kata Ren hari ini. “Beda apanya?” tanyaku lagi “Ah, kamu pasti tahu maksudmu. Tulisanmu sudah tidak seperti dulu atau sedang tidak seperti dulu?” Aku hanya terdiam. Aku tahu itu jika tulisanku tidak seperti dulu. Sepertinya lebih tepat jika kubilang sedang tidak seperti dulu. “Kamu tahu, tokohku sudah mati. Aku harus mencari tokoh baru lagi.” Ren kini yang terdiam. kemudia sebuah tanya meuncur, “Kenapa tokohmu kamu bunuh? Bukankah kamu sudah mencintainya?”      “Ah takdir memang hanya Tuhan yang kuasa. Tetapi untuk tokoh, aku yang berhak untuk menghidupkan atau mematikannya. Dan aku kini telah membunuhnya, karena meskipun dia hidup, dia tidak lagi hidup dalam cerita-ceritaku.” Aku mendesah. Tidak mudah mencari tokoh yang akan selalu menjadi apa saja yang kumau. Hidup, gempita yang membuat pembaca tidak lupa. “Kamu masih ingat, cerpenmu yang berjudul Singa Tua? Itu karakternya hidup sekali. Nggak bisa kulupakan. Pokokny

Pertemuan

www.pixabay.com Semuanya tak se seram yang kubayangkan, bertemu dengan calon ibu mertua dan keluarga besarnya. Tujuh hari berselang setelah mengutarakan keinginanya untuk melamarku, Ben menjemputku sore itu setelah pulang kerja. “Ibu ke sini,” katanya tanpa pembukaan. “Maksudnya?” tanyaku tak mengerti. Setelah melajukan Avanza hitamnya, Ben mengatakan akan mengajakku menemui ibu, dan juga ayahnya dan juga ternyata bersama kedua adiknya. “Mereka sengaja ke sini untuk berjumpa dengan calon menantunya.” Ben mengatakannya sambil serius menatap jalanan yang cukup padat. Mendengar pernyataan Ben, ada yang menciut di dalam hatiku. Pikiran berkecamuk dengan segala tentang bagaimana kalau, bagaimana jika. “Ben, aku takut.” Sepertinya suaraku terdengar gemetar. Aku benar-benar takut bertemu dengan mereka. Ben justru tertawa melihat raut wajahku yang mungkin memucat. “Kenapa sih harus takut? Ibu, Bapak dan Adik-Adik itu makannya masih nasi, kok. Nggak akan makan kamu.” Ben justr

Bersamamu untuk Bahagia, Itu Saja, Sederhana

www.pixabay.com Melihat logo yang tergantung di langit-langit, kamu seperti kesurupan. S edang tenagaku tiba-tiba seperti disedot habis olehmu. “Kamu tunggu si sini saja, Yang.” Ucapmu dengan ceria sambil mendorong kereta belanja. Kumainkan gawai, menantimu yang pasti akan membuatku terkantuk-kantuk di sini, di bangku besi di depan pintu masuk departemen store ternama yang berada di dalam mall ternama di Jogja.  Namun, kali ini mataku beredar. Pintu kacanya tiba-tiba mengingatkanku pada dia. Padahal pada kenyataanya dia amat sangat jarang menginjakkan kakinya ke bangunan tinggi yang bernama mall. Kamu memang berbeda dengan dia. Bahkan dulu, untuk mengajaknya harus ada alasan yang kuat agar dia benar-benar mau keluar dari liang rumahnya.  Sedang kamu, tak perlu mengajak dengan susah payah. Bahkan kamu sudah menentukan jadwalnya. Takdir memang tidak pernah bisa kita duga. Kita hanya perlu yakin jika Tuhan telah menentukan yang terbaik untuk hidup kita. Jika hatiku bertanya,

Anjing-Anjing Mbah Surip

sumber : www.myspaceandstory.blosgspot.co.id “Anjing keparat,” umpatku menahan kantuk yang masih mendera. Kesal rasanya. Suara gonggongan anjing itu mengganggu tidur lelapku. Kucoba menutup telinga dengan kedua bantal. Namun, gonggongannya semakin menusuk telinga. Aku terduduk dengan kepala terhuyung, menahan pusing. Kulangkahkan kaki ke kamar belakang, kamar adikku, berharap suara gonggongannya tak terdengar lagi. Sejak kepindahan Mbah Surip di depan rumahku dengan empat atau lima anjingnya, aku tiba-tiba mengidap sakit kepala.  Setiap jam 4 pagi, anjing-anjingnya akan menyalak mengantar kepergian mbah Surip ke pasar. Aku yang terbiasa tidur dini hari tentu saja sangat terganggu, sebab setelah aku terbangun karena salak anjing yang tak henti, aku tidak bisa memejamkan mata lagi meski begitu lelah. Pagi ini kepalaku terasa berat. Setiap akan bangkit, bumi terasa berputar kemudian semua isi perut keluar. Ibu memintaku untuk istirahat. Tubuhku pun terasa lemah dan aku pasr

Intropeksi

google search Sudah berulang kali mencoba menuliskan paragraf pertama tulisan tantangan di komunitas yang kuikuti dengan kata gemuruh, namun sepertinya harus kuhapus lagi. Ini sudah ke empat kalinya aku menuliskannya, namun ide cerita yang keluar dari isi kepala selalu sama, yaitu tentang cinta dan kerinduan. Sesungguhnya apa yang ingin kusampaikan? Aku sendiri tak mengerti. Orang-orang mungkin sudah bosan membaca tentang cinta dan rindu. Bisa jadi, meski pada kenyataanya cinta dan rindu selalu menguntit kita setiap waktu. Wid, kemon, apa yang sesungguhnya ingin kautuliskan? Ok baiklah. Karena kata gemuruh dan kata empat sudah kutuliskan maka aku boleh menceritakan hal lain yang mungkin juga membosankan. Sore ini tersentil oleh sebuah kalimat pernyataan dari seorang teman.  Hahahaha, aku memang mudah baper. Dan sentilan kali ini membuatku ingin menghilang dari kalian. Duduk menyudut sendiri, kemudian hati berjanji tak akan pernah peduli lagi walau apapun yang terjadi.

Jak

www.pixabay.com “Buku pesananku sudah ada kan, Jak?” Aku menatap Jak penuh harap. Jak hanya meringis. “Udah lama kamu nggak ke sini lagi, Na. Kenapa?” Jak justru bertanya tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. “Jak, Novel pesenanku udah ada kan? Kan janjinya yang pinjem novel itu akan ngembaliin hari ini.” Jak terdiam sesaat. Raut wajahnya terlihat gelisah. “Maaf Na, Novelnya baru aja saya kasih ke peminjam yang lain. Baru aja pergi. Eh, tapi orang tu janji akan balikin secepatnya.” Wajah Jak tampak merasa bersalah. Terlihat sekali Jak berharap jawabannya akan menenangkan hatiku. Tetapi tidak. Jawaban Jak jutru membuatku geram. Kesel banget mendengar jawabannya. Sudah ketiga kalinya Jak mendahulukan orang lain, selain diriku. Padahal sebelumnya tidak begini. Jak tahu jadwalku dengan baik. “Siapa dia, Jak? Orang yang sama kah?” tanyaku diantara sengal nafasku menahan kesal yang menumpuk. Jak hanya mengangguk. Kutinggalkan Jak tanpa kata-kata. Aku tenggelam di an