![]() |
news.babe.co.id |
“Maaf
Mbak, mbak mencari Pak Ridwan bukan?” tiba-tiba lelaki kurus tampan tadi
mendekat.
“Ya,” Rindang
menjawab dengan dingin tanpa menoleh sedikitpun, asyik memainkan gadgetnya.
Lelaki
kurus itu menyebutkan nama. Tiba-tiba telinga Rindang panas bagai di sengat
lebah. Wajahnya pun ikut memerah. Lelaki kurus tampan itu hanya tersenyum, sorot
matanya menyiratkan rasa maaf. Membuat Rindang semakin merasa bersalah.
Lelaki tua itu masih sibuk menyapu
halaman yang di penuhi dengan ulat lorek-lorek berwarna hitam merah berbulu yang berjalan kesana-kemari
tanpa rasa takut.
“Sudahlah di tebang saja pak,” ibu
selalu bilang begitu.
Namun Bapak
menggeleng. Ibu pun kembali diam. Pohon itu pohon kesayangan Bapak. Tidak hanya
satu, mengelilingi pekarangan rumah Bapak. Tanah dan pohon peninggalan nenek. Tidak
akan mungkin Bapak mengijinkan ayah menebangnya, kecuali pohon itu memang sudah
tua dan mati.
“Iya bu
tidak usah di tebang, musim ulat ini juga nanti hanya sebentar saja,” seorang
gadis keluar dari rumah sambil membawa jerigen minyak tanah dan mancis
ditangannya.
Ibu pun
tahu, pohon itu punya andil dalam membantu sepasang anaknya mengenyam
pendidikan universitas. Ibu masuk ke dalam rumah, meski ulat-ulat itu membuat
ibu bergidik, tetapi ibu lebih tidak tahan melihatnya menggeliat-geliat ketika
Bapak memanggangnya.
“Kapan Mas
mu pulang Win, sudah kamu telpon dia?” tanya Bapak pada anak perempuannya.
“Tolong
diingatkan kalau minggu depan dia harus pulang. Ada janji temu dengan Pak
Rahmad. Masmu itu jika tidak di ingatkan akan terus sibuk. Tolong di ingatkan
ya nduk?” Tanya Bapak lagi sebelum pertanyaan pertama di jawab.
“Iya Pak,
sudah Ku telpon. Dia lagi sibuk membuka warungnya yang baru”.
“Bocah kuwi memang ra nduwe kesel. Nek ngono kuwi
terus kapan rabine,” gerutu
bapak.
Win hanya
tersenyum. Win memang salut dengan kerja keras Masnya yang harus di acungi
jempol. Namun berkat kerja kerasnya juga
peternakan Ayam jambul Bapak semakin maju. Tiba-tiba ingat pesan Bapak jika minggu
depan ada pertemuan dengan Pak Rahmad. Win tersenyum, namun tidak yakin jika
keinginan Bapak akan sesuai dengan keinginan Masnya. “Oke, Kita lihat saja
nanti,” Win membatin.
Catatan kaki:
Bocah kuwi memang ra nduwe kesel. Nek ngono kuwi terus kapan rabine: Anak itu memang tidak ada capeknya, jika seperti itu kapan menikahnya?
#ODOP menulis setiap hari
#Tantangan Cerbung
Rindang sm win ada kaaitannya ga mb wid? hehhe, mulai keepo
ReplyDeleteMba saya gagal faham di kalimat "...bapak mengijinkan ayah menebangnya"
ReplyDeleteAyah itu maksudnya bapak kan mba?
Rindang merasa bersalah. Pasti wajahnya lucu.
Ketinggalan cerita mbak wid nih aku.. judulnya kreatif banget mbak wid. 😍
ReplyDeleteiya, aku juga suka judulnya bikin penasaran..^_^
DeleteMba saya gagal faham di kalimat "...bapak mengijinkan ayah menebangnya"
ReplyDeleteAyah itu maksudnya bapak kan mba?
Rindang merasa bersalah. Pasti wajahnya lucu.
Dibagian ke 3 ini, tulisannya makin kece saja, Mbak. Kagum dengan kemajuannya. ^^
ReplyDeleteJadi menduga-duga, apakah Pak Rahmad adalah ayahnya Rindang?
Aku tiap hari bergulat dg tepung dan bumbu. Bikin Mie.
ReplyDeleteJangan2 lelaki itu aku???
Hehehee
Bisa jadi bisa jadi
DeleteWkwkwkwk
bahasa jawa memang bingung saya, untuk ada penjelasan di akhir nya jadi ngerti :D
ReplyDelete