Skip to main content

WIN DAN HUJAN Bag.8 (Tamat)

www.pixabay.com
Hujan di luar turun dengan lebatnya di sore itu. Win di dapur mengaduk dua gelas teh panas dan sepiring kue brownies di sampingnya. Bram yang baru bangun dari tidurnya masuk ke dapur memperhatikan Win.

“Untuk siapa?” Win menoleh dan berhenti mengaduknya.


“Untuk kita” jawab Win dengan senyumannya. Bram pun kemudian tersenyum. Matanya berbinar.  Kemudian di ambilnya sepiring kue brownies tersebut.  Win menatap Bram mencari kata-kata dari matanya. Win mengerti. Win dan Bram kemudian duduk di teras menatap hujan. Salah satu tangan mereka saling bergenggaman.

"Dia juga di ambil oleh hujan Win.  Enam tahun lalu".  Cerita Bram malam itu setelah Win terisak mengingat bapak dan mobil remote controlnya. Kekasih Bram meninggal di saat hujan dalam sebuah kecelakaan. Bram yang merasa jarak ke rumah kekasihnya itu sudah tidak begitu jauh, hingga Bram enggan berteduh. Win mengerti kini kenapa selalu ada kilatan cemburu dan kesedihan ketika Win selalu mengingat Bapak dan menikmati hujan. Bram tidak ingin kenangan tentang hujan itu merampas Win dari sisinya.

Win kini juga mengerti kenapa Bapak begitu mencintai hujan. Win di lahirkan saat hujan lebat dan ibu tiada saat itu. Kebahagiaan dan kesedihan yang datang bersamaan untuk Bapak. Win juga tahu kenapa Bapak berkelahi dengan tetangga beberapa waktu lalu. Bahwa Bapak tidak rela jika Win di bilang anak pembawa sial. Karena kesialan Bapak yang pertama di mata mereka adalah meninggalnya ibu saat melahirkan Win.

"Hmmm mas apakah kamu masih mencintainya?" selidik Win mencari jawaban di antara mata romantis Bram.

“Iya”, Win pun merengut.

“Hmmm maksudku iya, aku mencintai seorang wanita yang sangat mencintai hujan dan akan mengukir kenangan akan hujan bersamanya” jawab Bram dengan kerlingan mata nakalnya. Wajah Win memerah dan di cubitnya lengan Bram dengan gemas,

“Hmmm…apakah kamu masih akan menduakanku dengan hujan?” Bram ganti bertanya. Menyelidik mata Win, mencari jawaban.

Win tidak menjawab. Hanya di genggamnya jemari tangan Bram semakin erat. Bram tidak bertanya lagi, genggaman erat tangan Win merupakan sebuah jawaban bagi Bram.

           Kembali mereka berdua menatap hujan. Win kembali mengeratkan genggaman jemarinya dan menyandarkan kepalanya ke bahu Bram. Seolah ingin mengatakan bahwa kini Win ingin mengukir kenangan tentang hujan bersama Bram.

                                                                          Tamat

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

BELAJAR DARI LAGU SHAKIRA, TRY EVERYTHING

sumber:www.bbc.co.uk I mess up tonight, I lost another fight I still mess up, but I’ll just start again I keep falling down, I keep on hitting the ground I always get up now to see what the next I won’t give up, no I won’t give in Till I reach the end and then I’ll start again No I won’t leave, I wanna try everything I wanna try eventhough I could fail I won’t give up, no I won’t give in Till I Reach the end and then I’ll start again No I won’t leave, I wanna try everything I wanna try everything eventhough I could fail Potongan lirik lagu Shakira di atas sangat memotivas kita untuk tidak menyerah, mencoba sampai akhir. Kemudian mencoba lagi meski tahu mungkin akan gagal. Sudah berapa kali kamu kalah, berputus asa dan terpuruk, Kemudian merasa berat untuk bangkit lagi? Mungin bisa dengarkan lagu Shakira Try Everything dan memahami makna yang disampaikan dalam lagunya. Lagu ini merupakan soundtrack film Zootopia. Film yang juga keren dan sarat...

Mengulas Cerpen Penguburan Kembali Sitaresmi

sumber:www.weknowyourdreams.com Cerpen karya penulis ternama Triyanto Triwikromo ini bercerita tentang salah satu cuplikan kejadian di tahun 1965. Tentang pembantaian para wanita yang dituduh sebagai anggota Gerwani (salah satu gerakan wanita milik PKI) Cerpen ini berkisah dari sudut pandang seorang saksi yang melihat kejadian pembantaian 24 wanita yang dituduh sebagai Gerwani yang juga di sebut sebagai pembantaian di Bukit Mangkang.   Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bi...

KUN, AKU SEKARAT

www.pixabay.com “Tulisan macam apa itu, semua orang juga bisa membuatnya?” ujar Kunkun dingin, sambil melempar bundelan kertas ke depannku. Kemudian jemarinya sibuk memencet tombol keyboard di ponsel. Meski suaranya menggelegar dan terdengar menyakitkan, wajahnya tidak menyiratkan kemarahan. “Jadi salahnya dimana?” tanyaku pelan, takut mengganggu konsentrasinya. “Cari ide lain, ide dan cara penuturanmu tak akan laku kalau di kirim ke media,” jawabnya tanpa menatapku. Jemarinya masih asyik bermain layar ponsel. Aku lunglai sejujurnya. Tapi Kun benar. “Jangan kau jadi penulis. Jika masukan dari orang lain membuatmu putus asa. Terlebih dariku yang sudah mengenalmu belasan tahun.” Pesannya sebelum aku beringsut meninggalkan tempat kost tempat dia bersarang selama ini. Cambuk yang dilontarkannya kepadaku terkadang membuat kepercayaan diriku jatuh terurai. Bahkan lima hari setelah pertemuan dengannya, aku tidak bisa menghasilkan satu cerpen pun. Ideku telah di bunu...