Fia
Hmm…
undangan yang ke sekian di bulan haji ini. Segera ku taruh undangan itu di
kardus yang memang sengaja ku sediakan untuk mengumpulkan undangan-undngan dari
semua teman-temanku. Kardus itu sudah terisi penuh dengan undangan. Undangan
yang ku kumpulkan sejak enam tahun yang lalu. Aku juga tidak tahu alasannya,
untuk apa undangan-undangan itu aku kumpulkan. Aku hanya mengikuti kata hatiku
saja.
Entah kapan aku akan mengirimkan undangan seperti itu. Aku
nyaris tak punya waktu untuk memikirkannya, meski ketika undangan-undangan itu
datang, sisi hatiku yang paling dalam selalu saja bergejolak. Tugas utamaku
sudah selesai kini. Pun sudah ku berangkatkan ibu pergi haji tahun ini. Melihat
adikku satu persatu selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan layak sesuai yang
mereka inginkan. Tinggal berganti ibu yang selalu menanyakan kesendirianku.
Menanyakan kapan kiranya aku akan mengakhiri masa lajangku.
Aku kembali teringat lelaki di masa laluku pun hingga kini.
Lelaki yang mungkin pernah kusakiti hatinya. Ya Tuhan, aku benar-benar
mencintainya. Hingga kini, aku belum bisa melepas namanya dari hatiku.
Arman
Kamu masih saja terus membuatku kagum.
Dengan ketegasan dan kegigihan sikapmu semakin kuat keinginanku utnuk menyandingmu.
Namun apakah masih ada rasa yang sama di hatimu untukku meski peristiwa enam
tahun lalu yang sempat menorehkan luka di hatiku.
Wajahmu begitu manis, merah merona
ketika ku ungkapkan perasaanku kepadamu. Kau hanya tersenyum manis dan
matamulah yang meyakinkanku jika engkau pun memiliki rasa yang sama atasku.
Sejak hari itu hariku indah dengan
dirimu di hatiku. Rencana-rencana bahagia kita rajut bersama.
“Fi, seperti apakah undangan pernikahan
kita nanti ya?” tanyaku padamu setelah kita membahas tentang rencana pernikahan
kita waktu itu.
“Yang sederhana saja tapi masih
bermanfaat bagi penerimanya.”
“Hmmm…gitu ya Fi, bagus juga idemu.
Bagaimana kalau kita nanti survey ke percetakan untuk harganya.”
“Bolehlah….siiip”, jawabmu dengan senyum
manismu membuatku semakin bersemangat untuk merengkuhmu di dunia yang lebih di
riidhoi Tuhan.
Namun tiba-tiba siang itu sejam sebelum
janji kita memesan kartu undangan itu engkau menemuiku dengan wajah muram,
tidak seperti biasanya. Engkau berkata bahwa engkau tidak bisa menikah untuk
saat itu, mungkin beberapa tahun lagi engkau baru akan menikah.
Saat itu aku langsung di kuasai emosi,
aku marah. Aku tak mau mendengarkan alasan apapun darimu saat itu meski engkau
menangis tersedu memohon aku untuk mendengarkanmu. Satu alasan yang tertancap
di hatiku bahwa engkau mempermainkan cinta kita, engkau mempermainkan
perasaanku. Saat itu aku benar-benar dikuasai emosi, aku tak mau mendengarkanmu,
kutinggalkan engkau seorang diri ditaman kota dengan tangis sedumu.
Hingga esok harinya suratmu datang
untukku. Namun aku enggan membukanya. Kuajukan pada atasanku untuk mutasi kerja
ke pulau seberang untuk belajar melupakanmu. Hingga enam tahun berlalu surat
itu masih belum ku buka dan tersimpan rapat di laci lemari bajuku. Aku belum
berani membukanya hingga kini. Aku terlalu pengecut untuk mengetahui alasanmu
memutuskan rencana pernikahan kita waktu itu. Aku takut alasanmu semakin
membuatku terluka.
bersambung
#cerita romantis#ceritasedih#ceritapenantian
bersambung
#cerita romantis#ceritasedih#ceritapenantian
Waaahhh mbak wid bikin cerbung lagi..😆😆😆duduk manis nunggu kelanjutannya..
ReplyDeleteCantik cantiik cantiik ceritanya 😍
ReplyDeleteAyoo buka suratnyaa hehehe
Siap nongkrong niih bun 😘