Aku
mengenalmu sebagai seorang penyair. Meskipun namamu belum semelambung Fakrunas
Ma Jabbar atau Tere Liye, namun karya-karyamu sering kunikmati di halaman
harian lokal di kotaku. Aku yang sedang belajar menulis, entah mengapa begitu
tertarik dengan puisi-puisimu daripada puisi-puisi penulis yang lain. Menurutku
bahasamu begitu cantik diksi-diksinya, meski terkadang sulit kupahami. Apalagi
ketika puisimu sedang bertema cinta. Yah karena aku hanyalah penikmat puisi
tetapi tidak bisa merangkai kata seperti dirimu.
Dari
seringnya meMbaca karya-karyamulah aku begitu tertarik untuk bisa mengenalmu. Apalagi
kita masih sebaya, kulihat dari biodata singkat yang tercantum di bawah
karyamu. Ku coba memberanikan diri mengirim sapa lewat email yang juga tertoreh
di sana. Dan ternyata engkau mau menjadikanku sebagai temanmu. Sejak saat itu
kita saling bertukar sapa, saling berdiskusi mengenai apa saja terutama tentang
puisi-puisimu.
Aku
sering menanyakan arti dari puisi-puisimu yang aku tidak tahu maknanya. Dari
situlah aku belajar merangkai kata untuk mencipta sebuah puisi, meski aku tidak
tahu apa alasannya hingga aku tertarik untuk menjadi seorang penyair. Namun
ternyata bagiku cukup sulit. Dan engkau selalu menyemangati bahwa dulu engkau
juga berusaha keras hingga sekarang puisi-puisimu selalu hadir setiap minggu di
koran-koran harian di kota kita, secara bergantian.
Sampai saat ini kita hanya berteman
lewat email. Tadi aku mendapat email darimu, mengabarkan bahwa engkau menjadi
juara pertama lomba cipta puisi yang diadakan sebuah universitas swasta di kota
kita. Aku hanya bisa mengucapkan, ”Selamat. Kamu memang pantas mendapatkannya.
Karya-karyamu selama ini yang kutahu memang selalu bagus.”
Hingga akhirnya sore ini kita berjanji
untuk bertemu di taman kota. Aku memang sering menghabiskan sore di sini.
Pemandangannya lumayan indah untuk sekedar refreshing. Ku tunggu engkau di
depan gerbang sambil duduk disalah satu bangku. Memandang burung-burung yang
terbang rendah di atas kolam yang menghijau airnya. Aku berbekal foto yang
kemarin kau kirimkan lewat email. Kulirik albaku, jam lima sore. Tiba-tiba
hapeku berdering, namamu muncul disana. Kuedarkan pandangan, dan menangkap
sosok gadis yang sedang mendekatkan hapenya di telinga. Memang benar itulah
engkau.
Seorang gadis dengan jilbab biru
langit yang membalut wajah manisnya. Mata beningnya menyimpan sedikit kabut,
namun langsung terkubur karena keramahanmu. Tak perlu basa-basi terlalu lama
karena kita sama-sama menyukai dunia tulis-menulis. Namun gerimis memisahkan
kita sore itu.
Sebelum
jarum-jarum air benar-benar membasahi bumi, kau sodorkan sebuah novel berjudul
Dorodasih karya Iman Budhi Santosa.
“Mungkin
buku ini bisa menambah kosakata dan imajinasimu,” pesanmu waktu itu. Kita
saling berjanji untuk bertemu di suatu hari sebelum kita benar-benar berpisah
di parkiran. Ku tunggu engkau hingga menghilang di tikungan jalan dengan mio
sportimu.
Namun tiba-tiba aku tak pernah
menemukan lagi karya-karyamu setiap hari minggu. Karya-karyamu raib seperti di
telan bumi. Ah mungkin kamu sedang sibuk jadi tidak sempat menulis? Kubiarkan
hal itu hingga waktu berlalu begitu lama. Enam bulan adalah waktu yang cukup
lama untuk mandegnya sebuah kreativitas. Aku semakin heran, apa yang terjadi
denganmu. Karena setiap kali aku menelepon, mengirim sms atau menanyakannya
lewat email jawabanmu selalu sama, “Aku sedang sibuk Rika.” Atau “Aku belum
sempat mengetiknya di komputer.” Atau “Komputerku sedang rusak”.
Aku meminta untuk bertemu denganmu di taman
lagi. Berharap mendapat penjelasan yang sebenarnya tentang keadaan dirimu.
Syukurlah engkau mau meluangkan waktumu untukku. Kutemui engkau sore itu yang
berwajah mendung, senyum tipismu seolah engkau paksakan untukku. Kita duduk di
tepi kolam. Suasana di tepi kolam lebih sepi karena pengunjung taman lebih
senang berjalan-jalan di atas batu refleksi. Di tepi kolam itu aku berharap
engkau mau menumpahkan segala mendung yang tersimpan di wajahmu.
“Wulan, aku merindukan
tulisan-tulisanmu terlebih puisimu nongol di media seperti dulu lagi,” kataku
mencoba membuka percakapan.
Wulan hanya tersenyum tipis. Matanya
hanya menerawang jauh menembus langit yang tertutup sedikit awan.
“Sebenarnya ada apa denganmu Wulan,
hingga vakum begitu lama?” kataku lagi.
Wulan menoleh kepadaku sejenak,
seolah-olah mencari-cari sesuatu dari balik pijar mataku. Dengusannnya seolah
membuang segala gundah yang menyelimuti hatinya.
“Rika, sebenarnya aku malu
menceritakannya padamu.”
Wulan kembali terdiam. Matanya menatap
ubin lantai yang kusam mencoba mencari kekuatan disana.
“Tak apa ceritakanlah. Mungkin dengan
cerita kepadaku kamu bisa lebih lega dan kembali berjaya menjadi penyair
seperti dulu.”
“Rika
sebenarnya aku mampu menulis itu karena ada seseorang yang menyemangati
hidupku. Menyemangatiku untuk menulis. Hingga kau saksikan bahwa mungkin hampir
tiap minggu tulisanku di muat di beberapa media cetak di kota kita. Tapi orang
itu sekarang tidak ada lagi Rika.”
Aku hanya terdiam tidak berani
bertanya tentang keberadaan orang yang telah begitu mempengaruhi jiwa Wulan.
“Orang itu sekarang bukan untukku lagi
Rika. Dua tahun lebih aku merajut bunga-bunga cinta dengannya, tetapi ternyata
kandas. Aku begitu terpukul terlebih setelah tahu hatinya berpaling kepada
seseorang yang juga begitu ku kenal. Dan setiap aku mencipta sebuah puisi,
puisi itu tidak pernah selesai Rika.”
Aku hanya terdiam. Ternyata sang
penyair sedang patah hati. Ah sebegitu dalamnyakah pengaruh lelaki itu ke jiwa
Wulan. Aku tak tahu rasanya karena aku belum pernah punya pacar dan patah hati.
“Tapi Wulan sepertinya kamu harus
tetap bangkit, kamu harus menang melawan itu semua. Jangan sia-siakan waktu
yang ada,” begitu nasehatku pada Wulan seperti seorang guru menasehati
muridnya.
Namun Wulan hanya terdiam, sesekali
dengusannya terdengar di telingaku. Seolah ingin membuang segala beban yang masih
mengganjal di hatinya. Hingga akhirnya kami berpisah karena senja mulai
merambati waktu, dan aku mendengar lirih ucapnya,”Ya aku harus bangkit.”
Sejak
itu aku tak pernah bertemu dengan Wulan karena kami di sibukkan dengan
persiapan ujian nasional. Hingga akhirnya aku harus meninggalkan kota bertuah
ini menuju sebuah universitas favorit di Yogyakarta. Kemudian ku temukan
tulisan puisimu di sebuah majalah teenlit dengan judul “Rindu untuk sahabat”.
Ah sang penyair akhirnya bangkit juga.***
Ini kisah nyata mbak wid?
ReplyDeleteSeperti kisah nyata, ya?
ReplyDeleteKeren, bun. Berasa gmn gitu kalau ada perpisahan...
ReplyDeleteAku mau dunk disemangatin juga rika...😂
ReplyDeleteIni pasti true story ya mbakyu???
ReplyDelete